KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan transaksi non tunai di jalur tol yang diberlakukan per 31 Oktober 2017 nanti menimbulkan kegamangan dan keresahan bagi para karyawan yang bekerja di gardu tol. Menyuarakan keresahan sekaligus memperjuangkan kesejahteraan pekerja, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara mengungkapkan pekan lalu pihaknya baru saja menemui Ombudsman RI untuk berdikusi. Menurutnya, pihak Ombudsman tengah melakukan klarifikasi terkait regulasi Bank Indonesia (BI) soal e-money atau elektronifikasi.
"Ada beberapa hal yang kami sampaikan dan dibahas Ombudsman, dan meminta klarifikasi soal peraturan Bank Indonesia tentang top up, kemungkinan besar akan direvisi," jelas Bhima dalam Seminar Nasional di Auditorium Adhiyana, Gedung Wisma Antara, Senin (23/10). Bhima menjelaskan, kebijakan e-money/otomatisasi gardu tol berlawanan dengan Nawacita yang diutarakan Jokowi-JK. "Semuanya berlawanan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini diserang oleh wabah daya beli yang lesu," lanjutnya. Daya beli lesu itu mengena kepada 40% masyarakat miskin terbawah. Meski jumlah sekali top up hanya berkisar Rp 760 - Rp 1.500, hal tersebut akan mengoreksi daya beli dan daya konsumsi masyarakat. Sementara, pendapatan selama tiga tahun terakhir tidak mengalami kenaikan. "Kebijakan ini semua justru salah, kontraproduktif dan kontraksi terhadap perekonomian, perpajakan nanti akhirnya juga akan menurun yang akan buruk bagi perekonomian Indonesia," kata Bhima. Ia menyebutkan, beberapa ekonom tengah memprediksi November nanti Indonesia akan memasuki periode krisis kecil jika terlalu banyak kebijakan yang timpang dan aneh-aneh. "Faktanya di Indonesia sekarang porsi
e-money terhadap total transaksi itu baru 1,14%," jelasnya. "Kalau kita dipaksa untuk pakai e-money bukannya nambah jadi 5% jadi 10% justru bisa kembali lagi menjadi kurang dari 1%." Ia menyebutkan, jika pemerintah ingin masuk dalam ranah revolusi teknologi, seharusnya tidak perlu menggunakan kartu sebagai alat transaksi. Sebagai contoh, China dan India kini memakai handphone dengan QR Code. Lebih dari sepuluh negara di Afrika juga menggunakan feature phone khusus telepon dan SMS. "Itu sebenarnya e-money," tegasnya. Lebih lanjut, Bhima mengatakan kenaikan rata-rata e-money per tahunnya ada 18 juta unit kartu. "Sekarang kita lihat ada bagi-bagi kartu perdana gratis, sebelumnya kartu perdana Rp 50.000, Rp 20.000 masuk ke kantong bank, Rp 30.000 baru saldo. Kita kalikan 18 juta, rata-rata per tahun dikalikan Rp 20.000, itu hasilnya adalah Rp 360 miliar per tahun masuk ke kantong perbankan yang menerbitkan e-money," ujarnya. Sebelumnya, Pengamat Trasnportasi Azas Tigor mengatakan pemerintah Indonesia tampak lebih suka mencari cara untuk 'membius' masyarakat. "Seperti kita lihat masyarakat baru-baru ini diberi kartu gratis, tidak terasa hari ini kita di-bully, tetapi begitu obat bius hilang baru terasa, nanti 31 Oktober baru terasa," jelasnya.
Ia menegaskan, masyarakat harus memiliki kesadaran ketika sedang 'dibius' oleh pemerintah seperti pencitraan dan dengan cara memberikan hal-hal yang gratis. Adapun selain kedua Bhima dan Tigor, turut hadir sejumlah anggota Serikat Karyawan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (SKJLJ), Serikat Pekerja Hero Supermarket (SPHS), serta Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK). Adapun dalam seminar ini dimaksudkan untuk berdiskusi dampak dari Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia. Acara yang diselenggarakan oleh ASPEK ini pun menghadirkan beberapa stakeholder terkait sebagai pembicara di antaranya Komisi V DPR RI sekaligus Ketua Fraksi Gerindra Edhy Prabowo, Pengamat Ekonomi dan Politik Ichsanuddin Noorsy, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan, Peneliti INDEF Bhima Yudistira Adhinegara, dan Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto