KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam pidatonya pada Rapat Pleno IMF-Bank Dunia hari ini, Jumat (12/10), Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyebut perang dagang berpotensi menggerus pertumbuhan domestik bruto (PDB) global sebesar 1% hingga 2019 mendatang. Potensi ini pun dianggap sebagai ancaman serius bagi perekonomian global, terlebih bagi nasib perekonomian Indonesia ke depan. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, mengatakan, proyeksi perlambatan pertumbuhan PDB global tersebut terbilang signifikan.
"Kalkulasi IMF penurunan 1% itu besar karena pertumbuhan PDB global sendiri saat ini hanya di kisaran 3%. Artinya, akan ada pengurangan volume perdagangan yang besar," ujar Enny kepada Kontan.co.id, Jumat (12/10). Sebagai negara yang memiliki hubungan dagang yang besar dengan Amerika Serikat dan China, Indonesia bakal menghadapi risiko serius. Enny menjelaskan, turunnya volume perdagangan kedua negara raksasa tersebut akan menyebabkan omset penjualan turun juga. Lantas, hal tersebut akan diikuti oleh penurunan investasi dan penurunan aktivitas ekonomi. "Kalau aktivitas ekonomi menurun, di dalamnya ada penurunan penyerapan tenaga kerja. Lalu, nanti berpengaruh ke penurunan bahan baku yang mana selama ini menopang ekspor Indonesia," terang Enny. Penurunan produksi bahan baku, disertai berkurangnya permintaan AS dan China, tentu akan mengusik kinerja ekspor Indonesia. Belum lagi, harga bahan baku, dalam hal ini komoditas, berpotensi melesu seiring dengan berkurangnya permintaan dari kedua negara yang berseteru tersebut. "Kalau kemampuan ekspor turun, ya pengaruhnya ke nilai tukar. Apalagi kita masih ada masalah ketergantungan impor. Merembet lah kemana-mana," tukas Enny. Melihat potensi kerugian perang dagang pada perekonomian global, Enny mengatakan, harus ada konsensus yang lahir dari pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali yang akan berakhir Minggu, (14/10) nanti. Menurutnya, seluruh negara peserta pertemuan harus menyatakan komitmen untuk menolak perang dagang, maupun kebijakan-kebijakan lainnya yang distortif terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi global.
"IMF juga sudah beberapa kali menyuarakan potensi kerugian perang dagang, tapi belum ada sikap konkret. Dalam pertemuan di Bali harus ada tawaran posisi kita menghadapi kondisi ini dan sebagai tuan rumah, Indonesia seharusnya bisa menginisiasinya," kata Enny. Ia menilai, Presiden Jokowi sendiri dalam pidatonya telah menyinggung perihal mempritoritaskan aksi kooperatif di atas kompetisi antar negara saat ini. "Kalau sudah sama-sama sadar, seharusnya pertemuan di Bali bisa melahirkan suatu statement, dalam bentuk pakta, inisiatif, atau apapun yang bisa menekan kebijakan proteksionis AS dan China ke depan. Impcatnya pun tidak hanya ke Indonesia, tapi lebih luas ke negara-negara lain," ujar Enny. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Narita Indrastiti