KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengungkapkan ada ancaman resesi yang menanti pada tahun 2020. Namun, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, bila resesi dikaji dengan definisi penurunan pertumbuhan ekonomi dalam kurun watu dua kuartal berturut-turut, Indonesia masih belum masuk ke dalam daftar negara terancam resesi. Baca Juga: Ekonom Standard Chartered dan Samuel Sekuritas prediksi BI pangkas suku bunga "Indonesia hanya masuk dalam perlambatan ekonomi. Bantalan ekonomi Inodnesia berada di konsumsi rumah tangga dan ini masih terjaga dengan growth di kisaran 4,9% - 5%," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9). Hanya saja, ekonomi merupakan hal yang sangat dinamis. Oleh karena itu, tentu ada ancaman resesi bagi Indonesia dan ini perlu diantisipasi. Sayangnya, usaha pemerintah dalam untuk menciptakan tameng dari ancaman resesi dianggap masih belum cukup. Pertama, dilihat dari sekto rkeuangan. Pemerintah saat ini harus mulai mengurangi ketergantungan utang ke investor asing. Hal ini disebabkan oleh dana jangka pendek atau hot money yang beresiko keluar yang nantinya bisa menyebabkan kontraksi di keuangan perbankan. Kedua, insentif yang diberikan secara masif dianggap masih belum efektif untuk menggerakkan industri manufaktur. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi ulang tentang insentif ini agar lebih efektif. Baca Juga: Ekonom Indef sebut BI punya kans pangkas lagi suku bunga acuan Ketiga, kepastian hukum di Indonesia juga masih terombang-ambing. Apalagi dengan adanya polemik tentang pengesahan rancangan undang-undang (RUU) yang sedang terjadi akhir-akhir ini. "Ini membawa preseden buruk ke iklim investasi. Lebih baik UU yang kontroversi ditunda dulu pembahasannya," tambah Bhima. Selanjutnya adalah stimulus moneter dan fiskal. Stimulus moneter dinilai Bhima sudah cukup kuat, apalagi dengan penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) selama tiga kali. Hanya, stimulus fiskal yang masih kurang. Apalagi dengan adanya niat pemerintah untuk memangkas subsidi BBM dan listrik. Belum lagi adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, selanjutnya, pemerintah perlu untuk memperkuat koordinasi fiskal dan moneter sehingga tidak terjadi ketimpangan dan ketidakselarasan.
INDEF: Indonesia belum resesi, tapi bukan tidak mungkin mengalaminya
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengungkapkan ada ancaman resesi yang menanti pada tahun 2020. Namun, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, bila resesi dikaji dengan definisi penurunan pertumbuhan ekonomi dalam kurun watu dua kuartal berturut-turut, Indonesia masih belum masuk ke dalam daftar negara terancam resesi. Baca Juga: Ekonom Standard Chartered dan Samuel Sekuritas prediksi BI pangkas suku bunga "Indonesia hanya masuk dalam perlambatan ekonomi. Bantalan ekonomi Inodnesia berada di konsumsi rumah tangga dan ini masih terjaga dengan growth di kisaran 4,9% - 5%," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9). Hanya saja, ekonomi merupakan hal yang sangat dinamis. Oleh karena itu, tentu ada ancaman resesi bagi Indonesia dan ini perlu diantisipasi. Sayangnya, usaha pemerintah dalam untuk menciptakan tameng dari ancaman resesi dianggap masih belum cukup. Pertama, dilihat dari sekto rkeuangan. Pemerintah saat ini harus mulai mengurangi ketergantungan utang ke investor asing. Hal ini disebabkan oleh dana jangka pendek atau hot money yang beresiko keluar yang nantinya bisa menyebabkan kontraksi di keuangan perbankan. Kedua, insentif yang diberikan secara masif dianggap masih belum efektif untuk menggerakkan industri manufaktur. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi ulang tentang insentif ini agar lebih efektif. Baca Juga: Ekonom Indef sebut BI punya kans pangkas lagi suku bunga acuan Ketiga, kepastian hukum di Indonesia juga masih terombang-ambing. Apalagi dengan adanya polemik tentang pengesahan rancangan undang-undang (RUU) yang sedang terjadi akhir-akhir ini. "Ini membawa preseden buruk ke iklim investasi. Lebih baik UU yang kontroversi ditunda dulu pembahasannya," tambah Bhima. Selanjutnya adalah stimulus moneter dan fiskal. Stimulus moneter dinilai Bhima sudah cukup kuat, apalagi dengan penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) selama tiga kali. Hanya, stimulus fiskal yang masih kurang. Apalagi dengan adanya niat pemerintah untuk memangkas subsidi BBM dan listrik. Belum lagi adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, selanjutnya, pemerintah perlu untuk memperkuat koordinasi fiskal dan moneter sehingga tidak terjadi ketimpangan dan ketidakselarasan.