KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi yang melandai dalam empat tahun terakhir ini berpotensi membawa Indonesia ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (
middle income trap). Sebab sejak 2014 hingga 2017, pertumbuhan ekonomi tak pernah beranjak dari kisaran 5%. Di mana pada 2014 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,02%, 2015 sebesar 4,79%, 2016 sebesar 5,02%, dan terakhir pada 2017 sebesar 5,07%. Sementara middle income trap diartikan sebagai kegagalan suatu negara untuk naik level dari level berpenghasilan rendah menuju berpenghasilan tinggi.
Direktur Eksekutif Indef Eny Sri Hartati mengatakan, jika ditelisik lebih lanjut sejatinya Indonesia telah terjebak sejak 2011. "Middle income trap kalau konsumsi jauh lebih besar dari produktivitas kita. Kalau negara kita mau benar-benar menghitung defisit atau tidak. Misalnya lihat dari ekspor non migas atau kalau mau lebih spesifik ekspor-impor industri manufaktur. Ini dari 2012, bahkan 2011 akhir itu sudah defisit. sudah dipastikan kita sudah terjebak di sana, dan itu sudah terjadi," jelasnya kepada KONTAN seusai diskusi Alarm Stagnansi Pertumbuhan Ekonomi di Jakarta, Ranu (7/2). Meski demikian ia mengatakan, defisit tersebut masih dapat ditutupi oleh performa ekspor berbasis komoditas. Hanya saja kondisi macam itu dikatakan Eny tak bisa diandalkan dalam jangka panjang. Sebab banyak halangan yang menghadang. Selain adanya dependensi twrhadap harga komoditas, ekspor berbasis komoditas kini kerap hadapi tantangan
non tariff barrier.
"Pada beberapa kasus, ekspor bahan mentah sering kali bersinggungan dengan isu lingkungan, yang berujung pada pengenaan hambatan-hambatan ekspor baik tarif maupun non-tarif. Misalnya kasus
crude palm oil (CPO) yang mengalami hambatan tarif dari Uni Eropa," sambung Eny. Oleh karenanya, ia menilai pemerintah perlu serius mendorong dunia usaha melakukan diversifikasi produk. Terlebih Pada 2045 Indonesia diprediksi akan dapat bonus demografi. Jika tak dikelola dengan baik, hal tersebut dinilai malah akan jadi bumerang bagi ekonomi nasional. "Kita bisa tetap ada survive, tapi kita stagnan, seperti stunting, kita gagal tumbuh. Itu seandainya kita mengandalkan komoditas. Soal kita berada di peringkat sekian-sekian itu memang sudah keniscayaan karena dengan perkembangan size ekonomi kita dengan sendirinya melakukan apa atau tidak sudah pasti ada di posisi itu," papar Eny. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto