Indef: Intervensi BI menjaga rupiah masih belum cukup



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah menempuh sejumlah langkah untuk memperkuat stabilitas perekonomian, termasuk nilai tukar rupiah.

Gubernur BI Perry Warjiyo selalu menekankan bahwa dalam menjaga nilai tukar rupiah, bank sentral salah satunya melakukan upaya triple intervention yang lebih intensif, baik di pasar spot, Domestic Non Delivery Forward (DNDF), maupun pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.

Perry juga menegaskan bahwa BI berkomitmen untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tetap sesuai fundamentalnya, sehingga nanti di akhir tahun mampu menguat ke Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).


Baca Juga: Dibayangi kekhawatiran corona, rupiah bakal lanjut tertekan

Meski begitu, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa intervensi yang telah dilakukan BI masih belum cukup untuk menjaga nilai tukar rupiah.

Menurutnya, BI mesti menambah langkah lagi untuk memperkuat upaya tersebut. Bhima pun memberi contoh, yaitu dengan memberi suntikan insentif untuk Devisa Hasil Ekspor (DHE) agar bisa mendorong eksportir untuk mengonversikan DHE nya ke rupiah.

"Insentif DHE memang dirasa masih kurang bagi pelaku usaha," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (3/4).

Selanjutnya, Bhima juga menyarankan agar bank sentral memperkokoh second line of defense-nya. Memang, Indonesia saat ini memiliki bantalan pertama untuk manajemen risiko yaitu cadangan devisa (cadev) yang diklaim Perry masih lebih dari cukup.

Namun, Bhima melihat bahwa bila dibandingkan dengan negara lain, kesiapan cadev dalam negeri masih lebih rendah porsinya terhadap produk domestik bruto (PDB).

Baca Juga: Indonesian firms face $4 bln debt wall as rupiah slides

Bhima pun menjelaskan, bahwa perbandingan cadangan devisa (cadev) terhadap PDB Indonesia menurut data CEIC per 2019 adalah sebesar 10,9% dan trennya terus mengalami penurunan.

Sementara itu, rasio cadev terhadap PDB negara lain seperti Malaysia mencapai 27,2%, Thailand 29,4%, dan Filipina 21,7%.

"Artinya, dibandingkan negara lain di Asean, Indonesia masih kecil amunisinya untuk menjaga stabilitas kurs rupiah," jelasnya.

Untuk memperkokoh bantalan keduanya, Bhima menyarankan agar Indonesia harus aktif mencari mitra untuk menambah kerja sama local currency settlement (LCS).

Menurutnya, bisa mulai dari negara-negara yang belum bekerjasama LCS dengan Indonesia di ASEAN, seperti Vietnam dan Filipina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto