KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute of Development for Economics and Finance (Indef) menyatakan bahwa kebijakan cukai terhadap industri hasil tembakau (IHT) belum mampu membatasi konsumsi terhadap rokok. Segala kebijakan cukai tersebut dinilai lebih berorientasi pada pencapaian target penerimaan ketimbang pengembalian atau pembatasan konsumsi rokok. "Walaupun pelaku industri gaduh, tetapi kenapa yang masuk Forbes dan lain-lain selalu ada pelaku industri rokok? Berarti untung besar dong, kalau di bawah tekanan saja masuk majalah Forbes," ujar Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (13/8).
Enny menambahkan, saat ini pertumbuhan jumlah produksi rokok menunjukkan tren penurunan. Namun, hal itu tak lantas membuat penerimaan atas cukai juga menurun. Sampai 2017, kinerja IHT terus mengalami penurunan, tetapi kontribusi cukai hasil tembakau selama rentang 2007-2017 tumbuh 13,5 %. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim mengatakan, jumlah penerimaan cukai hasil tembakau berbanding terbalik dengan jumlah perusahaan atau pabrik rokok setiap tahunnya. Sejak 2011, penerimaan cukai rokok terus mengalami pertumbuhan. Penerimaan cukai rokok pada 2011 tercatat sebesar dari Rp 7,3 triliun, kemudian meroket menjadi Rp 147,7 triliun pada 2017. Sementara itu, jumlah perusahaan rokok terus berkurang, dari 2.540 unit pada 2011 menjadi 487 unit pada 2017. "Bahkan ada yang menyebutkan jumlah perusahaan rokok sekarang sudah di bawah 300. Sedangkan produksi rokok sampai 2014 mengalami peningkatan, tapi dari sini sudah mulai turun 2017 menjadi 336,2 miliar batang, sementara cukai makin naik," jelas Rochim. Berdasarkan data yang dikelola Indef, kontribusi cukai hasil tembakau sebesar 73,8 % datang dari 14 pabrik industri hasil tembakau jenis SKM (sigaret kretek mesin). Jumlah pabrik tersebut hanya dua % dari keseluruhan pabrik industri hasil tembakau. Di sisi lain, 10 % penerimaan cukai disumbang oleh gabungan satu pabrik golongan A dan 15 pabrik golongan IB jenis SKT (sigaret kretek tangan). Sementara untuk jenis SPM (sigaret putih mesin) sendiri, 5,6 % penerimaan cukainya dihasilkan oleh satu pabrik saja. Adapun target cukai hasil tembakau juga selalu lebih 100 % dari target APBN. Pada 2008, realisasi cukai hasil tembakau tembus Rp 49,9 triliun atau sebesar 112,1 %. Pada 2010, cukai hasil tembakau mencapai Rp 63,3 triliun dari target Rp 55,9 triliun atau mencapai 113,3 % dan pada 2012 realisasinya mencapai titik tertinggi sebesar 114,4 % karena cukai hasil tembakau terkumpul Rp 90,6 triliun dari target Rp 79,9 triliun.
Namun demikian, sejak 2016 realisasi cukai hasil tembakau menurun menjadi Rp 137 triliun atau 96,7 %. Hal itu mengalami kenaikan pada 2017 dengan realisasi mencapai Rp 147,68 triliun atau 100,14 % dari target. "Penurunan pada 2016 disebabkan adanya forestalling atau menambah pembelian pita cukai dengan tarif yang lama untuk digunakan di tahun selanjutnya (ijon)," terang Rochim. (Ridwan Aji Pitoko) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Kebijakan Cukai Belum Fokus ke Pembatasan Konsumsi Rokok" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto