Indef: Kenaikan PPN ke 12% bisa saja memberatkan pemerintahan baru



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap. Peningkatan ini akan dimulai pada tahun depan. 

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RPP) yang diterima Kontan.co.id, rencananya, tarif PPN akan dinaikkan menjadi 11% per 1 April 2022 dan kemudian menyusul menjadi 12% paling lambat per 1 Januari 2025. 

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, rencana peningkatan PPN menjadi 12% dalam periode tersebut akan memberatkan pemerintahan baru. 


Apalagi, seperti diketahui, era pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada tahun 2024. 

“Ini cukup berat bagi pemerintahan baru, ketika dipaksa menaikkan tarif PPN sebesar 12%. Baru selesai pilpres, sudah harus menaikkan pajak,” ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, Rabu (6/10). 

Baca Juga: Segera disahkan DPR, ini sederetan kebijakan pajak baru di RUU HPP

Selain itu, Tauhid juga menyoroti kebijakan ini malah akan memberikan beban bagi pemulihan ekonomi. Apalagi, pada tahun 2022 adalah tahun yang diagendakan menjadi pemulihan ekonomi. 

Menurut perhitungannya, dengan peningkatan PPN mulai tahun depan, bisa menekan pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun dari sisi persediaan. 

Dari sisi permintaan, kenaikan PPN tentu saja akan menggenjot harga. Ini membuat daya beli masyarakat tergerus, dan tentu saja aktivitas pembelian bisa berkurang. Tentu akan berdampak pada pertumbuhan, karena porsi terbesar penyumbang pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga. 

Kemudian, dari sisi persediaan, dengan turunnya permintaan, maka bisa saja ada penumpukan barang yang diproduksi oleh pelaku usaha. Dan bahkan, bisa saja ke depan pelaku usaha akan mengurangi produksi. 

“Ini dikhawatirkan juga akan menurunkan omzet pelaku usaha dan justru akan kontraproduktif terhadap perkembangan perekonomian,” tandasnya. 

Selanjutnya: Ekonom Celios sebut peningkatan PPN berisiko pada pemulihan ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi