KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan penghapusan denda pajak oleh pemerintah untuk menstimulus pembayar pajak dikhawatirkan banyak pihak. Akan kah kebijakan yang dijalankan saat ini, akan dipermasalahkan kembali jika rezim pemerintahan berganti. Seperti diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurut Bhima, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165 Tahun 2017 tentang Pengampunan Pajak ini memang sempat membuat heboh karena disebut-sebut sebagai Tax Amnesty jilid II. Meski dibantah oleh Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak, pada intinya regulasi ini memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang belum melaporkan asetnya untuk segera melaporkan.
Bedanya, Ditjen Pajak menuturkan, jika pada Tax Amnesty pada tahun lalu tanpa menyertakan tindakan pemeriksaan, kebijakan PMK anyar ini dibarengi dengan melakukan pemeriksaan terhadap aset-aset yang belum dilaporkan wajib pajak (WP). Pemeriksaan inilah yang menurut Bhima Yudhistira Adhinegara dapat menjadi mimpi buruk bagi para peserta tax amnesty. Apalagi, PMK ini juga ikut menyasar para wajib pajak yang sebelumnya sudah mengikuti Tax Amnesty. Adanya pemeriksaan ulang menjadi sinyal bahwa ke depannya kepastian hukum menjadi kian mengambang. Jeda waktu antara batas akhir pelaporan Tax Amnesty hingga keluarnya PMK Nomor 165 Tahun 2017 pada November ini bisa jadi membuat adanya nilai perubahan harta dari peserta Tax Amnesty. Inilah yang sangat mungkin disasar kembali oleh Ditjen Pajak untuk dipermasalahkan ke depannya. “Pasti ada harta yang sudah berubah. Hartanya ada yang dijual atau kemudian beli harta baru. Nah, maksudnya jangan-jangan, dengan adanya PMK 165 itu adalah untuk meng-update data harta dari periode Maret sampai periode hari ini, bulan November,” tuturnya, Selasa (28/11). Bhima khawatir, ada indikasi nasib para peserta WP ini bisa sama dengan nasib para obligor yang telah mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kini kembali dipermasalahkan. Seperti yang terjadi kepada, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. BPPN semasa dipimpinnya mengeluarkan SKL kepada sejumlah obligor BLBI dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 sebagai penegasan pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya. Inpres yang sama juga menegaskan tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya.
SKL bahkan diberikan sebagai penegasan Keputusan Pemerintah mengenai Release and Discharge, sejatinya juga diperkuat dan dipertegas dalam Undang-Undang RI No.25 tahun 2000 (“UU Propenas"). Bahkan ada Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 yang menegaskan sikap pemerintah sebagai jaminan hukum buat mereka yang membayar BLBI. Meski sempat dipermasalahkah, Kejaksaan Agung sendiri sudah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN. Menilik begitu banyaknya dasar hukum BLBI, persoalan tersebut nyatanya tetap bisa dipermasalahkan. Dengan begitu, kata Bhima, surat keterangan pengampunan pajak atau surat keterangan bebas (SKB) WP yang telah ikut tax amnesty ke depannya juga belum tentu aman. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto