Indef menilai Indonesia kalah siap menangkap peluang dari perang dagang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketegangan perang dagang antara dua negara raksasa Amerika Serikat (AS) dan China belum menemui ujung. Akhir November ini akan menjadi penentu, apakah genderang perang dagang akan redam atau justru semakin kencang dan memukul laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti potensi keberlanjutan perang dagang dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019 yang digelar hari ini, Rabu (28/11). INDEF mengungkap, perang dagang sejatinya mendatangkan peluang pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara Asia, termasuk Indonesia, di tengah proyeksi perlambatan ekonomi global di tahun 2019.

Berdasarkan simulai Global Trade Analysis Project (GTAP), Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati menyimpulkan, perang dagang AS dan China akan berdampak pada menurunnya produk domestik bruto (PDB) kedua negara itu sendiri. PDB AS dan China diproyeksi akan tergerus masing-masing 0,16% dan 0,42% lantaran perang tarif akan menyeret ekspor kedua negara dalam jangka pendek.


"Sementara, tren pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia justru cenderung meningkat karena mengambil momentum positif dari perang dagang ditambah derasnya arus investasi langsung (FDI) yang masuk," ujar Enny, Rabu (28/11).

Artinya, Enny berpendapat, genderang perang dagang tak melulu menjadi momok bagi perekonomian Indonesia, namun sebaliknya bisa menjadi kesempatan jika mampu dimanfaatkan dengan optimal.

Ia menyebut, PDB Malaysia diperkirakan meningkat 0,045%, Thailand 0,043%, India 0,021%, dan Vietnam 0,017%. Namun, peningkatan PDB yang dialami Indonesia relatif lebih rendah yakni hanya 0,01%.

Peningkatan PDB pada Malaysia, Thailand, dan Vietnam menunjukkan bahwa negara tersebut lebih siap mengantisipasi dampak perang dagang. "Mereka telah melakukan diversifikasi pasar ekspor lebih dulu dan lebih luas," kata Enny.

Hal ini terlihat dari potensi kinerja ekspor-impor negara-negara tetangga tersebut di tengah perang dagang. Ekspor Malaysia diproyeksi bertambah 1,89% dan impornya naik 0,34%. Ekspor dan impor Vietnam bertambah masing 0,77% dan 0,26% serta ekspor dan impor Thailand bertambah 0,54% dan 0,13%.

Indonesia pun sebenarnya berkesempatan mengalami kenaikan ekspor sebesar 0,14%, tapi impor berpotensi meningkat lebih tinggi dari negara tetangga yaitu mencapai 0,42%.

Oleh karena itu, Enny menekankan pentingnya pemerintah mendorong ekspansi pasar ke negara-negara dagang nontradisional seperti Afrika dan Eropa Timur. "Juga negara-negara yang teridentifikasi terdampak perang dagang di mana Indonesia bisa menjadi penyuplai barang substitusi bagi mereka," ujarnya.

Contoh, Indonesia bisa memperluas ekspor komoditas utamanya yaitu minyak sawit mentah (CPO) ke Kenya dan Tanzania. Menurut Indef, kedua negara tersebut merupakan dua mitra dagang utama minyak sawit, serta menduduki posisi keempat dan kelima secara keseluruhan total perdagangan antara Indonesia dan negara-negara Afrika.

Lantas, nilai perdagangan Indonesia-Afrika bisa kembali surplus, setelah tahun lalu mengalami defisit hingga US$ 9,5 juta.

Strategi lainnya, Enny katakan, ialah memperkuat pasar regional Asia Tenggara (ASEAN) yang menyerap sekitar 25% ekspor Indonesia. Penguatan pasar dan peningkatan nilai tambah produk ekspor ke negara-negara ASEAN dinilai akan berpengaruh besar pada keseluruhan total ekspor Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia