Indef: Pemerintah harus cepat merespon kenaikan harga minyak dunia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta segera memberikan respon cepat atas kenaikan harga minyak yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini. Pasalnya, harga minyak saat ini, sudah mencapai kisaran US$ 70 per barel, atau lebih tinggi US$ 22 per barel dari asumsi APBN 2018 yang hanya dipatok US$ 48 per barel.

Abdul Manaf Pulungan, peneliti Indef tidak memungkiri, kenaikan tersebut bisa berdampak positif ke penerimaan sebagaimana pernah disampaikan Sri Mulyani, Menteri Keuangan beberapa waktu lalu. Setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel bisa menaikkan pendapatan negara Rp 0,2 triliun- 0,9 triliun.

Tapi sebagai negara net importer minyak, kenaikan tersebut memberi risiko besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Maklum saja, ketika harga minyak naik, kebutuhan akan dollar AS untuk kebutuhan impor minyak juga akan naik.


Ketika dollar banyak dibelanjakan untuk impor, stabilitas nilai tukar rupiah bisa terganggu. Nilai tukar rupiah bisa melemah. "Ini bisa mengganggu daya beli, efek lanjutannya ke pertumbuhan ekonomi, karena sokongan daya beli ke PDB mencapai 50%, kalau dibiarkan membahayakan," katanya Kamis (25/1).

Bagi sektor keuangan, kenaikan harga minyak juga bisa memberikan pukulan berat. Kenaikan tersebut bisa mendorong kenaikan inflasi. Tidak usah jauh- jauh, tahun 2014 ketika harga minyak dunia naik ke atas US$ 100 per barel dan kemudian diikuti kenaikan harga BBM, inflasi November - Desember 2014 langsung mencapai 3,96%, lebih besar dari total inflasi 2017 yang hanya 3,61%.

Manaf mengatakan, kenaikan inflasi tersebut akan mendorng kenaikan suku bunga simpanan dan pinjaman. Dampak kenaikan suku bunga tersebut bisa dipastikan menyebabkan kredit melambat, investasi turun dan pertumbuhan melemah.

"Jadi kenaikan harga minyak bisa beri dua imbas ke pertumbuhan, di daya beli dan investasi," katanya.

Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef meminta pemerintah untuk segera memberikan sikap tegas dan langkah konkrit terhadap masalah tersebut. Menurutnya, ada beberapa opsi yang bisa diambil pemerintah dengan segala risikonya.

Pertama, meneruskan sebagian atau keseluruhan kenaikan harga minyak global ke masyarakat, atau menaikkan harga BBM. Risiko pilihan ini, pemerintah bisa kehilangan popularitas karena dilakukan saat tahun politik.

Kedua, menugaskan Pertamina menanggung sebagian atau keseluruhan selisih harga. Konsekuensinya, keuntungan Pertamina dan setoran dividen mereka akan berkurang. Konsekuensi lain, ekspansi investasi Pertamina juga bisa terganggu.

Pilihan lain, memberikan penyertaan modal ke Pertamina sebagai konsekuensi atas penugasan yang mereka berikan, atau kombinasi ketiganya. "Segera ambil keputusan, jangan biarkan mengambang, supaya masyarakat jelas, dunia usaha dan Pertamina bisa buat perencanaan di tahun 2018," katanya.

Harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir terus merangkak naik. Data Bloomberg, Kamis (25/1) pukul 14.00 ini, harga minyak berjangka Brent untuk kontrak pengiriman Maret 2018 US$ 70,84 per barel. Harga ini merupakan level tertinggi sejak akhir 2014 lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto