Indef: Pemerintah perlu beri insentif dan konsistensi regulasi untuk dongkrak EBT



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan serta Konservasi Energi (EBTKE) di Indonesia masih mengalami berbagai tantangan. Bauran EBT pada 2020 pun tercatat hanya 11,51%, meleset dari target sebesar 13%.

Head Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menyatakan bahwa progres EBT di Indonesia tertinggal dari negara lain. Secara bauran pun masih jauh dari target yang ingin dicapai pada 2025, yaitu sebesar 23%.

Salah satu masalahnya, sambung Abra, ialah regulasi yang tidak konsisten. "Pemerintah harus konsisten. Regulasi itu tidak hanya dari sisi penawaran, tapi juga permintaan. Ketika kebijakannya tidak konsisten, EBT jadi tidak menguntungkan dan sulit berkembang," kata Abra secara tertulis, Sabtu (30/1).


Dia menilai, pemerintah memang cukup serius mengajak masyarakat menggunakan kendaraan listrik karena bisa mengurangi emisi. Namun di sisi lain, pasokan listrik untuk mengisi daya kendaraan listrik masih dari batubara. Menurut Abra, ini menjadi salah satu contoh inkonsistensi pemerintah.

Baca Juga: Begini penjelasan Menteri ESDM soal Perpres harga listrik EBT yang molor dari target

"Dari permintaan didorong seolah EBT, tapi listriknya dari batubara. Kebijakannya harus konsisten, artinya dari sisi suplai harus EBT seperti biomassa, surya, biogas, dan sebagainya," kata dia.

Apabila ingin mengakselerasi EBT, Abra menekankan bahwa pemerintah harus memberikan insentif pada sektor energi bersih ini. Sebab investasi pembangkit EBT masih tergolong mahal dibandingkan pembangkit batubara.

Menurutnya, insentif yang diberikan tidak harus berupa fiskal. Insentif non-fiskal seperti konsistensi regulasi juga perlu dimaksimalkan.

Selain itu, pemerintah harus mampu memfasilitasi agar suplai EBT bisa terserap pasar domestik. Hal tersebut bisa menjadi salah satu bentuk afirmasi dari pemerintah terhadap investor dan produsen EBT.

Abra melanjutkan, meskipun membutuhkan investasi relatif besar, pembiayaan berkelanjutan di sektor EBT di Indonesia masih relatif kecil. Namun, beberapa lembaga keuangan mulai menggelontorkan pembiayaannya ke sektor ini.

Beberapa waktu lalu misalnya, PT Bank Mandiri Tbk. memberikan fasilitas kredit investasi ke anak usaha PT Kencana Energy Lestari Tbk, yaitu PT Bangun Tirta Lestari sebesar US$ 40 juta atau setara Rp 563 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.086).

Pembiayaan tersebut akan digunakan emiten penyedia energi terbarukan itu untuk pembiayaan aset eksisting berupa PLTA Air Putih dengan kapasitas 3x7 MW di Bengkulu.

Terkait pendanaan perbankan ke sektor EBT,  hal itu telah diatur POJK 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan. POJK ini meminta perbankan meningkatkan portofolio pembiayaan, investasi, atau penempatan pada instrumen keuangan atau proyek yang sejalan dengan penerapan keuangan berkelanjutan.

Baca Juga: Terdiri dari 14 bab dan 59 pasal, simak isi Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT

Dengan diwajibkan nya pembiayaan berkelanjutan, Abra menilai perbankan harus melakukan pengawasan terhadap pembiayaan jenis ini. Sebab, pembiayaan berkelanjutan juga mencakup perkebunan kelapa sawit dengan program B30.

Meskipun perbankan membiayai perkebunan, Abra meminta perbankan harus memastikan hal tersebut tidak merusak lingkungan yang ada.

"Misalnya sawit yang nantinya diolah jadi B30 atau biodiesel, pemanfaatan lahannya seperti apa. Sejauh mana lahan yang sudah ada, bukan lahan perluasan terutama lahan dari area hutan," pungkas Abra.

Selanjutnya: Pemerintah dan DPR Menargetkan Pembahasan RUU EBT Rampung Oktober Tahun Ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari