Indef: Penurunan penerimaan negara tak pengaruhi target defisit, kok bisa?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development on Economics and Finance (Indef) memprediksi penurunan penerimaan negara tidak akan mempengaruhi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang dipatok sebesar 6,34% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dalam bahan pemaparannya saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI, Senin (7/9), mencatat posisi realisasi penerimaan negara sampai akhir Agustus sebesar RP 1.028,02 triliun, lebih rendah 13,5% dari pencapaian periode yang sama tahun lalu senilai Rp 1.189,28 triliun. 

Hal tersebut membuktikan penerimaan negara selama delapan bulan pertama tahun ini belum menunjukkan pemulihan. Bahkan belum searah dengan proyeksi pemerintah yang berharap hanya minus 10% secara tahunan di akhir tahun ini.


Baca Juga: Duh, rasio utang Indonesia capai 34,53% terhadap PDB di akhir Agustus

Dari realisasi penerimaan negara per akhir Agustus tersebut sudah 60,52% dari target akhir tahun senilai Rp 1.699,9 triliun. Target tersebut sebagaimana dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 terkait perubahan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. 

Sementara, rasio utang terhadap PDB per akhir Agustus 2020 sebesar 34,53%, naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang ada di level 29,8%. 

Danya dalam waktu satu bulan, ratio utang terhadap PDB naik 1,57% di mana posisi per semester I-2020 di level 32,96%. Dus, ratio utang per akhir Agustus 2020 semakin mendekati target pemerintah di akhir 2020 di level 37,6%.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, dari sisi penerimaan negara, pajak akan jauh dari prediksi pemerintah. Dia meyakini pos penerimaan utama negara tersebut bisa mencapai minus 15% dari realisasi akhir tahun lalu.

Menurutnya, kondisi ekonomi di 2020 sudah mengindikasikan perbedaan dengan prediksi pemerintah. Dus, beberapa target realisasi dalam Perpres 72/2020 akan meleset. 

“Pajak bisa minus melebihi 10% bisa 15%. Problemnya banyak yang tidak susuai dengn prediksi, sektor industri, perdagangan, bahkan semua sektor drop dan tidak bagus,” kata Tauhid kepada Kontan.co.id, Senin (7/9).

Kendati demikian, proyeksi penerimaan pajak yang rendah akan tertolong dengan tren penyerapan belanja negara yang tidak maksimal. Tauhid meyakini, penyerapan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini tidak akan 100% terealisasi. 

“Yang  anggarannya besar perlindungan sosial dan UMKM, ini sulit karena masalah data.  Sementara, dukungan kesehatan dan perpajakan saya kira memang cenderung tidak optimal,” kata Tauhid.

Dari sisi belanja Kementerian/Lembaga (K/L), Tauhid bilang kemungkinan hanya berada di level 80%-90% sampai akhir tahun 2020, lebih rendah dari tren penyerapan belanja dalam situasi normal yang berkisar 93%-94%.

“Memang biasanya puncak belanja pemerintah di kuartal IV, namun dalam situasi pandemi seperti ini nampaknya susah terserap. Sementara dari program PEN juga minim. Praktek inilah yang akhirnya tidak perlu dipotong (belanja),” ujar Tauhid.

Baca Juga: Indef perkirakan penerimaan pajak tahun 2020 hanya mencapai Rp 1.239 triliun

Di sisi lain, rasio utang pemerintah terhadap PDB diproyeksi tidak akan melebihi 37,6% di akhir 2020. Seiring defisit APPB yang diprediksi masih di dalam outlook pemerintah karena kebutuhan pembiayaan yang minim akibat penyerapan yang rendah.

Sementara itu, Tauhid juga menilai burden sharing pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) juga membutuhkan waktu dalam proses pencairan. Menurutnya, BI pasti mempertimbangkan mekanisme dan kondisi pasar terlebih dahulu.

Meski daya tahan APBN diprediksi masih terjaga di tahun ini, Tauhid bilang dampak penyerapan belanja yang rendah buat ekonomi Indonesia bisa minus hingga 0,5% di akhir 2020. 

Selanjutnya: Penerimaan pajak loyo, belanja pemerintah mesti dipangkas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi