Indef soroti kenaikan risiko utang Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan negara-negara berkembang (emerging markets) untuk menjaga rasio utang dan tingkat utang berisiko di tengah pelambatan ekonomi global.

Pasalnya, tingkat utang pemerintah maupun korporasi yang terus meningkat secara global membuat sistem keuangan dan perekonomian semakin rentan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov turut mengingatkan pemerintah terkait beban utang di dalam negeri yang semakin besar. Per Februari lalu, rasio utang pemerintah pusat terhadap produk domestik bruto (PDB) naik mencapai 30,33%.


"Meskipun rasio masih jauh di bawah 60%, tapi kemampuan APBN untuk membayar utang dalam jangka panjang semakin berat," tutur Abra, Kamis (14/4).

Ini terlihat dari rasio utang terhadap belanja pemerintah pusat yang terus meningkat. Pada 2014, perbandingan utang dengan belanja pemerintah pusat masih sekitar 11%. Saat ini, perbandingan tersebut meningkat menjadi sekitar 17%.

Abra juga menggarisbawahi peningkatan risiko utang yang tampak dari semakin banyaknya utang jatuh tempo di bawah satu tahun. Dalam catatannya, utang jatuh tempo di bawah setahun cuma 5,6% pada 2014. Tahun lalu, porsi tersebut naik menjadi 8,4%.

"Ini menjadi persoalan karena kalau utang jatuh tempo jangka pendek meningkat, itu juga akan menyebabkan pemerintah harus memberikan insentif berupa kupon atau yield yang lebih tinggi," kata Abra.

Isu lainnya, yang juga berkaitan dengan peringatan IMF, ialah posisi utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terus menanjak.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang perusahaan pelat merah tanpa dana pihak ketiga (DPK) sepanjang 2018 mencapai Rp 2.394 triliun (unaudited) atau naik 47,5% dari tahun 2017 yang sebesar Rp 1.623 triliun.

Sementara, dengan memasukkan dana pihak ketiga, secara total, utang BUMN tercatat mencapai Rp 5.613 triliun atau meningkat 16,2% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya Rp 4.830 triliun.

"Pemerintah sering ingin memisahkan konteks utang pemerintah dengan utang BUMN karena berada di luar kebijakan APBN. Padahal ketika BUMN mengalami risiko keuangan, pada akhirnya pemerintah juga yang menanggung bebannya," kata Abra.

Bukan hanya dari sisi jumlah, utang BUMN yang berdenominasi valuta asing juga mengalami peningkatan menjadi 58%, kata Abra. Dominasi utang dalam bentuk valas ini tentu berisiko, yaitu memicu fluktuasi nilai tukar rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi