KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks dolar (DXY) kembali bergerak melemah. Menjadi awal kebangkitan rupiah? Berdasarkan data Trading Economics, sepekan terakhir DXY turun 1,01% ke 104,45 pada Rabu (15/5) pukul 23.27 WIB. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, DXY cenderung mengalami pelemahan sepanjang bulan Mei 2024 ini sekitar 1,3% Mtd. Pelemahan dollar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang utama dipengaruhi oleh data tenaga kerja yang tidak sesuai ekspektasi dan isyarat berakhirnya kenaikan suku bunga.
Baca Juga: Rupiah Bisa Kembali Ke Bawah Rp 16.000, Asalkan Di sisi lain, rupiah masih bergerak volile. Dalam sepekan, rupiah melemah 0,80% terhadap dolar AS. Meski begitu, Josua melihat, dari berbagai indikator ekonomi makro Indonesia, belum ada kondisi perekonomian yang menunjukkan indikasi yang memburuk dan mengkhawatirkan. Dari sisi pertumbuhan ekonomi tetap solid di kisaran 5%. Lalu, inflasi yang tetap terjaga, cadangan devisa yang cenderung solid, manajemen fiskal dan moneter yang prudent, serta keseimbangan eksternal yang tetap terkendali. "Oleh sebab itu, level nilai tukar rupiah saat ini tidak menggambarkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (15/5).
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Kembali ke Bawah Rp 16.000, Simak Pendorongnya Karenanya, ia menilai pergerakan rupiah saat ini masih dipengaruhi oleh faktor sentimen perekonomian global, baik dari tensi geopolitik Timur Tengah dan arah suku bunga Fed yang masih
higher-for-longer. Hal tersebut berimplikasi bahwa nilai tukar rupiah saat ini tidak mencerminkan titik keseimbangan yang baru. Namun demikian, risiko terkait dengan perkembangan global yang tidak menentu masih menjadi perhatian sepanjang semester I 2024. Sentimen
risk-off yang sedang berlangsung di tengah skenario
higher-for-longer akan terus menghambat aliran masuk dana asing ke Indonesia, sehingga mengharuskan Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Selain itu, penurunan surplus perdagangan akibat normalisasi harga komoditas dan melemahnya perekonomian negara-negara mitra dagang utama, di samping permintaan domestik Indonesia yang masih cukup kuat, menimbulkan risiko pelebaran defisit transaksi berjalan. Faktor musiman seperti pembayaran kupon dan dividen kepada non-residen, yang biasanya mencapai puncaknya pada kuartal II setiap tahun, juga berkontribusi pada pelebaran defisit transaksi berjalan.
Baca Juga: Kurs Rupiah Ditutup Menguat 0,45% pada Rabu (15/5) "Semua faktor ini diperkirakan akan mengurangi cadangan devisa di semester I," paparnya. Untuk semester II, Josua melihat peluang untuk meredanya risiko global. Ia masih mengantisipasi ruang untuk penurunan suku bunga The Fed, namun merevisi ekspektasinya dari tiga kali pemangkasan dengan total 75bps menjadi hanya satu kali pemangkasan sebesar 25bps. Potensi penurunan suku bunga The Fed dapat meningkatkan sentimen risk-on, sehingga berpotensi meningkatkan arus modal masuk ke Indonesia.
"Oleh karena itu, kami mengantisipasi sedikit peningkatan cadangan devisa menjelang akhir tahun 2024," jelasnya. Cadangan devisa pada akhir tahun 2024 diperkirakan akan turun menjadi sekitar US$ 140 - US$ 142 miliar pada akhir 2024, dari US$ 146,4 miliar pada 2023. Oleh karena itu, Josua mengantisipasi nilai tukar rupiah akan berkisar antara Rp 15.800 - Rp 16.200 per dolar AS pada akhir tahun 2024, terdepresiasi dari Rp 15.397 per dolar AS pada akhir tahun 2023. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto