KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan hubungan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China ke arah damai membawa angin segar bagi pasar obligasi, hingga Indeks Indonesia Composite Bond Index (ICBI) capai rekor tertinggi sejak Januari 2018. Mengutip data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) per Senin (4/3), level ICBI berada di 247,39 tertinggi sejak Januari 2018 di 247, 46. Namun, per Selasa (5/3) indeks ICBI terkoreksi tipis 0,05% ke 247,27. Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Lili Indarli menjelaskan, ICBI memang berada dalam tren
bullish sejak di pekan akhir Februari. Faktor dominan yang membayangi pasar obligasi belakangan ini adalah sentimen damai dagang AS dan China.
"Optimisme pasar terhadap keberhasilan negosiasi dagang mampu mendorong penurunan persepsi risiko di global dan memicu masuknya asing di pasar SBN," kata Lili, Selasa (5/3). Sementara,
Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management Eric Sutedja menduga ICBI bisa capai rekor tertinggi karena pemerintah terus menerbitkan surat utang baru. Eric mencatat per tanggal 31 Desember 2014, indeks obligasi IBPA terdiri dari 306 seri obligasi dengan total kapitalisasi pasar mencakup Rp 1.217,5 triliun. Sedangkan, per 28 Februari 2019, seri bertambah menjadi 500 seri obligasi dengan kapitalisasi pasar mencakup 2.493,6 triliun. "Pemerintah terus menerbitkan surat utang baru, nama baru seperti FR0077 dan FR0078 juga terbit," kata Eric, Selasa (5/3). Indeks ICBI mendapat kontribusi kinerja yang lebih tinggi dari indeks INDOBeX Corporate Total Return atau obligasi korporasi dibanding INDOBeX Government Total Return atau obligasi pemerintah. Tercatat per Senin (4/3) indeks obligasi korporasi berada di level 270,83 dengan kinerja 3,03% sejak awal tahun. Sedangkan, indeks obligasi pemerintah berada di level 242,56 dengan kinerja 2,56% sejak awal tahun. Lili mengatakan
yield Surat Berharga Negara (SBN) memang lebih rendah dari obligasi korporasi. Kinerja obligasi korporasi bisa lebih baik juga karena pasar SBN cenderung lebih sensitif terhadap berbagai isu yang terjadi baik dari dalam maupun luar negeri. Kondisi tersebut terjadi, karena SBN cenderung lebih likuid dan memiliki nominal outstansing yang jauh lebih besar dari obligasi korporasi. Namun, biasanya pergerakan pasar obligasi korporasi akan mengikuti arah pergerakan pasar SBN. Dalam kondisi pasar obligasi yang sedang
bullish, Lili mengatakan obligasi korporasi dan obligasi pemerintah tetap menarik untuk dikoleksi sesuai dengan kebutuhan atau tujuan investasi. Bagi investor yang fokus mencari
return maka ia akan memilih instrumen yang memiliki tingkat
return lebih tinggi, yaitu obligasi korporasi yang cenderung memberikan tingkat
return tinggi dibanding SBN. Namun, jika investor cenderung mencari capital gain, maka obligasi korpoasi bukan jadi pilihan pertama investro karena obligasi korporasi cenderung kurang likuid dibanding SBN. Kembali lagi, jika dilihat dari sisi riko memang SBN lebih bebas risiko karena dijamin negara. Senior VP & Head of Investment Recapital Asset Management Rio Ariansyah mengatakan bila investor membeli obligasi korporasi di situasi saat ini ia yakin akan mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi karena The Fed cenderung menunda kenaikan suku bunga acuannya. "Obligasi korporasi saat ini menarik untuk di keep tiga hingga lima tahun ke depan dan sayang untuk di lepas jika kenaikan harga hanya 2%-3%, menarik dilepas jika ada kenaikan harga 10%-20%," kata Rio.
Lili menambahkan meski kini pasar obliasi sedang bullish, investor baiknya tetap mewaspadai tantangan yang mungkin datang dari global, pertama perkembangan perang dagang AS dan China jika proses negosiasi tidak sesuai ekspektasi. Kedua, kebijakan moneter The Fed berbalik hawkish, meski saat ini cenderung bernada dovish dan proyeksi pasar terhadap kenaikan Fed Fund Rate di tahun ini sebanyak satu kali. Ketiga, perlambatan ekonomi global yang juga berdampak pada ekonomi China. Kita tahu, China merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua, pada akhirnya bisa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonominya di tahun ini menjadi 6%-6,5%. Terakhir adalah perkembangan Brexit. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati