JAKARTA. Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) menyebutkan adanya indikasi kartel pada pasokan bahan baku baja untuk industri baja nasional. Lantaran pemasok bahan baku baja seperti bijih besi atau iron ore terbatas hanya beberapa perusahaan saja.Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Edward Pinem mengatakan, indikasi kartel terutama terlihat ketika pasokan bahan baku terbatas tapi beberapa perusahaan tetap mendapatkan pasokan yang lancar dengan harga yang tepat. Mereka yang bisa menikmati fasilitas itu adalah perusahaan baja yang memiliki saham di perusahaan tambang pemasok bahan baku. "Jika memiliki saham di perusahaan tambang, pasokan untuk mereka pasti diutamakan lebih dahulu,” kata Edward akhir pekan lalu.Hal itu tidak dialami perusahaan-perusahaan lain yang tidak punya keterikatan modal secara langsung dengan perusahaan pemasok karena mereka akan kesulitan dan mendapatkan harga yang lebih mahal. Selama ini, menurut Edward, industri baja nasional mengimpor bahan baku terutama dari Brasil dan Australia.Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Wiryawan mengakui adanya indikasi praktik kartel pada pasokan bahan baku industri baja. Menurutnya, praktik seperti itu mudah ditemui karena industri baja nasional yang masih bergantung pada pasokan bahan baku impor dari perusahaan tambang tertentu. "Ketika terjadi permintaan yang tinggi, sedangkan suplainya kurang, otomatis harga dan pasokan akan dipatok,” kata Putu.Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi pada pasokan bahan baku baja tapi juga terjadi pada hampir semua sektor peleburan logam yang menggunakan bahan baku dari hasil tambang. Kondisi itu menurutnya belum terlalu mengkawatirkan dan hanya berlaku temporer karena pemasok bahan baku untuk bahan baku baja masih sangat terbatas.Di sisi lain, Putu mengatakan semestinya Indonesia mengambil peluang dari permintaan bahan baku baja yang tinggi itu. Negara ini memiliki potensi pertambangan bijih besi di Kalimantan Selatan dan Bangka Belitung. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memacu investasi eksplorasi bijih besi di dalam negeri.Putu mengatakan Indonesia memiliki deposit bijih besi yang melimpah dari berbagai jenis seperti ateritik dan iron sand. Selain itu, ada besi yang terkandung dalam nikel. Sayangnya, investasi di bidang eksplorasi selama ini masih sangat sedikit sehingga industri baja dalam negeri bergantung pada impor.Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengolah iron ore adalah PT Krakatau Steel Tbk. Perusahaan lainnya hanya memanfaatkan bahan baku dari olahan besi tua.Sebelumnya Direktur Pemasaran Krakatau Steel, Irvan Kamal Hakim mengatakan total kebutuhan baja nasional mencapai 9 juta ton per tahun. Dari jumlah itu sekitar 3,5 juta hingga 4 juta ton di serap oleh sektor konstruksi dengan komposisi 60% berupa long product dan sisanya 40% flat product. "Sektor pendorong konsumsi baja nasional berasal dari sektor manufaktur dan konstruksi," kata Irvan.Sektor manufaktur dan konstruksi pun diperkirakan akan terus mengalami kenaikan sejalan dengan rencana proyek infrastruktur dan penyediaan rumah tinggal susun oleh pemerintah dan juga pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tahun ini, sektor manufaktur diprediksikan tumbuh 4,4% dan konstruksi tumbuh 7,3%.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Indikasi kartel ditemukan pada komoditi baja lokal
JAKARTA. Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) menyebutkan adanya indikasi kartel pada pasokan bahan baku baja untuk industri baja nasional. Lantaran pemasok bahan baku baja seperti bijih besi atau iron ore terbatas hanya beberapa perusahaan saja.Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Edward Pinem mengatakan, indikasi kartel terutama terlihat ketika pasokan bahan baku terbatas tapi beberapa perusahaan tetap mendapatkan pasokan yang lancar dengan harga yang tepat. Mereka yang bisa menikmati fasilitas itu adalah perusahaan baja yang memiliki saham di perusahaan tambang pemasok bahan baku. "Jika memiliki saham di perusahaan tambang, pasokan untuk mereka pasti diutamakan lebih dahulu,” kata Edward akhir pekan lalu.Hal itu tidak dialami perusahaan-perusahaan lain yang tidak punya keterikatan modal secara langsung dengan perusahaan pemasok karena mereka akan kesulitan dan mendapatkan harga yang lebih mahal. Selama ini, menurut Edward, industri baja nasional mengimpor bahan baku terutama dari Brasil dan Australia.Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Wiryawan mengakui adanya indikasi praktik kartel pada pasokan bahan baku industri baja. Menurutnya, praktik seperti itu mudah ditemui karena industri baja nasional yang masih bergantung pada pasokan bahan baku impor dari perusahaan tambang tertentu. "Ketika terjadi permintaan yang tinggi, sedangkan suplainya kurang, otomatis harga dan pasokan akan dipatok,” kata Putu.Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi pada pasokan bahan baku baja tapi juga terjadi pada hampir semua sektor peleburan logam yang menggunakan bahan baku dari hasil tambang. Kondisi itu menurutnya belum terlalu mengkawatirkan dan hanya berlaku temporer karena pemasok bahan baku untuk bahan baku baja masih sangat terbatas.Di sisi lain, Putu mengatakan semestinya Indonesia mengambil peluang dari permintaan bahan baku baja yang tinggi itu. Negara ini memiliki potensi pertambangan bijih besi di Kalimantan Selatan dan Bangka Belitung. Yang perlu dilakukan sekarang adalah memacu investasi eksplorasi bijih besi di dalam negeri.Putu mengatakan Indonesia memiliki deposit bijih besi yang melimpah dari berbagai jenis seperti ateritik dan iron sand. Selain itu, ada besi yang terkandung dalam nikel. Sayangnya, investasi di bidang eksplorasi selama ini masih sangat sedikit sehingga industri baja dalam negeri bergantung pada impor.Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengolah iron ore adalah PT Krakatau Steel Tbk. Perusahaan lainnya hanya memanfaatkan bahan baku dari olahan besi tua.Sebelumnya Direktur Pemasaran Krakatau Steel, Irvan Kamal Hakim mengatakan total kebutuhan baja nasional mencapai 9 juta ton per tahun. Dari jumlah itu sekitar 3,5 juta hingga 4 juta ton di serap oleh sektor konstruksi dengan komposisi 60% berupa long product dan sisanya 40% flat product. "Sektor pendorong konsumsi baja nasional berasal dari sektor manufaktur dan konstruksi," kata Irvan.Sektor manufaktur dan konstruksi pun diperkirakan akan terus mengalami kenaikan sejalan dengan rencana proyek infrastruktur dan penyediaan rumah tinggal susun oleh pemerintah dan juga pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tahun ini, sektor manufaktur diprediksikan tumbuh 4,4% dan konstruksi tumbuh 7,3%.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News