Indikator Kesehatan Bank Saat Pandemi



KONTAN.CO.ID - Pandemi Covid-19 telah mengganggu kesehatan perbankan nasional melalui jalur pemburukan kualitas kredit. Upaya untuk mencegah penularan virus korona tersebut melalui pembatasan pergerakan masyarakat telah menyebabkan banyak korporasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) mengurangi atau bahkan menutupi kegiatan produksi/jasanya. Penjualan menyusut tajam dan akhirnya mengancam kemampuan mereka dalam membayar kewajibannya di bank.

Untuk mencegah agar pemburukan kualitas kredit perbankan tidak kian dalam, maka sejak Maret 2020 otoritas terkait telah memberikan lampu hijau kepada bank untuk melakukan restrukturisasi pada kredit yang terdampak Covid-19. Kualitas kreditnya pun tetap diperlakukan lancar. Kemudahan ini memang bersifat temporer, hanya berlaku selama satu tahun ke depan yakni hingga Maret 2021.

Selain itu, atas kredit yang telah direstrukturisasi tadi, perbankan nasional juga dibolehkan untuk tidak menambah pembentukan provisi atau Cadangan Kerugian Penyusutan Nilai (CKPN) kredit. Namun, dengan catatan bahwa bilamana debitur yang telah mendapatkan fasilitas restrukturisasi tersebut yang berkinerja baik pada awalnya, lantas diperkirakan menurun karena terdampak Covid-19 dan tidak dapat pulih pasca restrukturisasi/dampak Covid-19 berakhir, maka bank tetap wajib membentuk CKPN. Lalu, bagaimana dengan perkembangannya saat ini?


Berdasarkan data perbankan, jumlah kredit yang direstrukturisasi hingga Mei 2020 telah mencapai Rp 740,01 triliun atau 13,25% dari total kredit yang disalurkan. Kredit restrukturisasi tersebut telah melonjak pesat hingga 147,49% atau setara Rp 441,01 triliun ketimbang Februari 2020 (periode sebelum ketentuan restrukturisasi diberlakukan) yang mencapai Rp 299,00 triliun. Dari peningkatan tersebut, sebesar 97,07% nya atau setara Rp 428,10 triliun merupakan kredit restrukturisasi dengan kualitas lancar.

Apabila dilihat perkembangan bulan ke bulan mulai Maret hingga Mei 2020, peningkatan kredit restrukturisasi yang paling tinggi sebetulnya terjadi pada April 2020. Kala itu, kredit restrukturisasi melesat 61,33% atau Rp 196,48 triliun ketimbang Maret 2020 yang naik 7,15% atau Rp 21,37 triliun. Sementara kredit restrukturisasi yang dilakukan pada Mei 2020 naik 43,18% atau setara Rp 223,17 triliun, masih tinggi meski melambat ketimbang bulan sebelumnya.

Upaya perbankan melakukan restrukturisasi kredit tersebut telah berdampak positif dengan tertahannya pemburukan risiko kredit lebih dalam. Hal ini terlihat dari rasio kredit bermasalah (NPL) yang relatif naik sedikit, dari 2,79% pada Februari 2020 menjadi 3,00% pada Mei 2020. Masih naiknya rasio NPL tersebut tidak lepas dari jumlah kredit bermasalah yang meningkat 8,72% atau bertambah Rp 13,46 triliun.

Indikator keuangan lainnya seperti rasio pendapatan bunga bersih (NIM) yang meski terlihat menyusut namun juga relatif tidak dalam. Pada Mei 2020, NIM industri perbankan sebesar 4,36%, sedikit turun dari posisi Februari 2020 yang sebesar 4,67%.

Bila dilihat dari nominalnya, penurunan pendapatan bunga bersih tersebut hanya sebesar 5,99% atau Rp 19,99 triliun, yakni dari Rp 334,02 triliun menjadi Rp 314,03 triliun. Gambaran ini menunjukkan bahwa skema restrukturisasi melalui penundaan pembayaran angsuran bunga relatif belum signifikan. Tampaknya, perbankan lebih memilih skema restrukturisasi kredit dengan penundaan angsuran pokok kredit, perpanjangan jangka waktu atau penurunan suku bunga.

Hal yang masih positif lainnya adalah penurunan pendapatan bunga bersih ini masih belum menggerus likuiditas bank secara keseluruhan. Kondisi ini tidak lepas dari penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang masih tumbuh positif yakni 8,89% secara tahunan pada Mei 2020 dan bahkan cenderung naik.

Di sisi lain, penyaluran kredit melemah, yakni hanya tumbuh 3,09% secara tahunan pada posisi yang sama. Hal ini berarti ada kelebihan DPK yang lantas ditempatkan bank pada alat likuid seperti Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini mengakibatkan likuiditas bank yang tercermin dari rasio alat likuid terhadap DPK yang kian membumbung tinggi mencapai 24,33%.

Kondisi yang sama juga terjadi pada indikator CKPN. Pada Februari 2020, bank telah membentuk CKPN hingga mencapai Rp 248,92 triliun. Dan pada Mei 2020, terdapat tambahan CKPN lagi sebesar Rp 21,24 triliun atau naik 8,53% menjadi Rp 270,16 triliun.

Tetap waspada

Tambahan CKPN tersebut sesungguhnya sejalan dengan tambahan kredit bermasalah yang mencapai Rp 13,46 triliun. Tertahanya peningkatan pembentukan CKPN membuat rasio permodalan perbankan (CAR) relatif tidak terpengaruh, masih tercatat tinggi meski hanya turun sedikit dari 22,27% pada Februari 2020 menjadi 22,14% pada Mei 2020.

Kendati begitu, bila kita mencermati indikator kredit berisiko (Loan at Risk) secara konservatif yang terdiri dari kredit bermasalah (NPL), kredit kualitas dalam perhatian khusus dan kredit restrukturisasi dengan kualitas lancar, maka sejatinya terdapat lonjakan yang tajam.

Pada Mei 2020, rasio kredit berisiko terhadap total kredit tercatat cukup tinggi, mencapai 19,21% atau meningkat pesat dari Februari 2020 yang baru tercatat sebesar 11,14%. Peningkatan rasio kredit berisiko tersebut memang dikontribusi dari peningkatan kredit restrukturisasi dengan kualitas lancar sebagaimana tersebut di atas.

Sementara tambahan CKPN untuk kenaikan kredit yang direstrukturisasi sepertinya belum dibentuk bank, terutama yang berkualitas lancar yang mendominasi kredit restrukturisasi perbankan. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa coverage CKPN, yakni rasio CKPN terhadap NPL, relatif tidak berubah, bahkan sedikit menurun dari 161,25% (Februari 2020) menjadi 160,97% (Mei 2020). Hal yang sama juga terjadi pada rasio CKPN terhadap total kredit yang tetap rendah, meski sedikit naik dari 4,49% menjadi 4,84%.

Meskipun indikator penting (vital signs) yang menunjukkan kesehatan bank seperti kualitas aset, likuiditas dan permodalan tersebut tampak baik-baik saja, namun kewaspadaan dan pemantauan secara ketat tetap perlu dilakukan seiring dengan sumber masalah yakni pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir. Hal ini karena pelonggaran ketentuan prudensial tersebut sejatinya merupakan tindakan mengulur waktu (buying time) hingga satu tahun ke depan, sampai diperoleh gambaran yang jelas dan pasti tentang dampak pandemi Covid-19 yang sebenarnya.

Maka dari itu, ada baiknya terhadap kredit yang direstruktuisasi tersebut, bank tetap perlu berupaya untuk membentuk CKPN. Tentu dengan tetap menilai kondisi debitur yang sesungguhnya, sehingga tindakan lebih dini dapat segera dilakukan. Di samping itu, komitmen pemegang saham untuk menyuntik modal atau likuiditas tetap sangat diperlukan dan menjadi kunci penting dalam menjaga kesehatan bank, terutama dalam menghadapi serangan Pandemi Covid-19 ini.

Penulis : Ardhienus

Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti