KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Daya beli masih membayangi sektor konsumsi primer. Sebab, peningkatan upah untuk tahun 2024 dinilai cukup rendah. Analis Indo Primer Sekuritas Lukito Supriadi dan Andrianto Saputra mengatakan, pemerintah baru-baru ini mengumumkan formula untuk menentukan upah minimum melalui PP No. 51/2023 (pasal 26). Berdasarkan hal ini, diperkirakan pertumbuhan upah minimum nasional untuk 2024 sebesar 3,8% yang menurutnya cukup rendah dibandingkan dengan 7,2% pada 2023.
"Hal ini didasarkan pada inflasi September 2023 sebesar 2,3%, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dan variabel sebesar 0,3," tulisnya dalam riset, Rabu (15/11).
Baca Juga: Daya Beli Masyarakat Terdorong Pemilu, Cek Rekomendasi Saham Consumer dari Analis Untuk perusahaan, efek kenaikan upah tidak akan terlalu berdampak signifikan terhadap beban perusahaan lantaran gaji dan upah tenaga kerja dalam biaya produksi dan biaya operasional mewakili sekitar 3% dari total penjualan. Secara rata-rata, pihaknya menghitung bahwa dampak dari setiap pertumbuhan upah sebesar 5% terhadap laba bersih bahan pokok adalah sebesar 2,7%. "Di tengah perkembangan harga bahan baku yang menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan FMCG, kami percaya tidak ada urgensi untuk menaikkan harga jual dalam jangka pendek. Di sisi lain, pertumbuhan upah yang tidak terlalu tinggi tidak akan mendorong daya beli masyarakat di 2024," paparnya. Namun untuk emiten peritel, kenaikan upah yang tidak terlalu tinggi menjadi angin segar. Sebab, gaji dan upah mewakili 13,4% dari rata-rata penjualan peritel. Indo Premier menganalisis, setiap 5% pertumbuhan upah dapat mengurangi laba bersih emiten seperti AMRT, ACES, dan MAPI, masing-masing sebesar 14,3%, 8,1% dan 7,2% dengan asumsi hal lain tetap sama.
Baca Juga: Labanya Naik 69,9% hingga Kuartal III, Saham PTPP Layak Dibeli? "Karena upah merupakan pos pengeluaran yang paling signifikan bagi sebagian besar peritel, prospek pertumbuhan upah 2024 yang tidak terlalu tinggi membuka ruang untuk
leverage operasi yang positif bagi peritel yang dapat memanfaatkan SSSG yang kuat di tahun depan," tambahnya. Karenanya, Indo Premier mempertahankan rekomendasi netral untuk sektor ini. Adapun risiko lain yang dihadapi adalah pelemahan rupiah, tekanan inflasi dari bahan pokok seperti beras, dan lemahnya daya beli masyarakat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi