KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Indo-Rama Synthetics Tbk (
INDR) melaksanakan ekspansi perluasan pabrik benang pintal di Indonesia dan Turki. Perusahaan menargetkan, ekspansi ini rampung pada tahun 2023 hingga tahun 2024 mendatang. Asal tahu saja, INDR mengekspor produknya ke lebih dari 70 negara di dunia. Rinciannya, penjualan ke Asia (kecuali Indonesia) sebanyak 38% dari total penjualan, ke Eropa 12%, Amerika 11%, dan negara-negara ROW sebesar 8%. Adapun penjualan di dalam negeri sendiri mencapai 30% dari penjualan. Presiden Direktur INDR Vishnu Swaroop Baldwa menjelaskan, permintaan poliester secara global akan terus menguat hal ini serta merta berdampak pada peningkatan produksi poliester dunia di tahun-tahun yang akan datang.
“Terdapat sejumlah dinamika industri yang mempengaruhi tren konsumsi poliester, di antaranya pertumbuhan populasi, urbanisasi kelas menengah, tingkat pendapatan yang tinggi, pembangunan infrastruktur, dan lainnya,” jelasnya dalam paparan publik secara virtual, Jumat (24/6). Peningkatan jumlah populasi dan perubahan demografi menyebabkan permintaan produk poliester dan pintal meningkat. Adanya urbanisasi kelas menengah membuat permintaan polietser berpotensi meningkat jika masyarakat di negara berkembang mencapai tingkat konsumsi global rata-rata saat ini. Adapun dengan tingkat pendapatan yang tinggi akan mendorong permintaan terhadap kebutuhan rumah tangga dan tekstil.
Baca Juga: Indorama (INDR) tambah kapasitas produksi benang pintal polyester menjadi 13.000 ton Sebenarnya, selain faktor yang sudah disebutkan tadi ada sejumlah dinamika lainnya yang turut mempengaruhi tren konsumsi poliester yakni kesadaran atas kesehatan sehingga masyarakat beralih ke air minum kemasan, inovasi produk, diferensiasi merek, dan perubahan gaya hidup. Saat ini, INDR merupakan produsen dan eksportir produk poliester dan benang pintal terbesar dari Indonesia. Sedangkan kapasitas INDR dikatakan sangat kecil dari industri global saat ini. Berdasarkan peluang dan potensi tersebut, INDR sedang melaksanakan ekspansi perluasan pabrik benang pintal di Indonesia dan Turki. Vihsnu menjelaskan, pembangunan pabrik benang pintal di Indonesia dengan kapasitas 12.000 ton per tahun diperkirakan akan mulai beroperasi pada kuartal II-2023. Sedangkan pembangunan pabrik benang pintal di Turki berkapasitas 11.000 ton per tahun diperkirakan mulai beroperasi pada kuartal I-2024. Dia memaparkan, di sepanjang 2021, kapasitas produksi benang pintal INDR sebesar 137.500 ton per tahun. Adapun pada 2022 kapasitas benang pintal akan berada di level 155.000 per tahun. Lantas berkat ekspansi perluasan pabrik, Vishnu memaparkan pada 2023 kapasitas pabrik pintal akan naik sekitar 15% dari yang ada saat ini. “Selama 2021, INDR melakukan investasi tambahan dalam aset tetap sebesar US$ 47 juta untuk bangunan pabrik dan mesin-mesin termasuk aset dalam penyelesaian terutama dalam bisnis poliester dan pemintalan untuk kapasitas tambahan serta meningkatkan efisiensi operasional,” Pada kuartal I-2022, perusahaan telah merealisasikan capex senilai US$ 11 juta. Rencananya, di sepanjang 2022, anggaran belanja modal INDR senilai US$ 28 juta.
Adapun pada 2023, anggaran belanja modal akan bertambah menjadi US$ 90 juta. Dana ini dipersiapkan untuk pembangunan pabrik benang pintal di Indonesia dan Turki serta rencana investasi di anak perusahaan PT Cikondang Kancana Prima untuk pertambangan emas di Indonesia.
Sampai dengan kuartal I-2022, INDR mencatatkan penjualan tumbuh 30% yoy menjadi US$ 272 juta dari sebelumnya US$ 209 juta di kuartal I-2021. Seiring dengan kenaikan penjualan tersebut, laba bersih INDR melonjak 89% yoy menjadi US$ 34 juta. Melansir laporan tahunan INDR yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), pihaknya melihat bahwa prospek bisnis di 2022 terlihat lebih menjanjikan karena adanya pemulihan global yang kuat. Maka itu, manajemen INDR membidik penjualan bersih yang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu senilai US$ 945 juta. Di sepanjang 2021, INDR mencatatkan penjualan mencapai US$ 884,1 juta atau 50% lebih tinggi dibandingkan realisasi 2020 yang hanya US$ 589 juta. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari