KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (
INDF) mencetak kenaikan pendapatan dan laba
double digit di kuartal pertama tahun ini. Emiten Grup Salim ini mencetak kenaikan penjualan 12% menjadi Rp 27,45 triliun. Sedangkan laba INDF melesat 36% menjadi Rp 2,36%. Margin laba bersih Indofood pun meningkat menjadi 8,6% dari sebelumnya 7% di kuartal pertama 2021. Salah satu pemicu lonjakan laba INDF adalah lonjakan margin agribisnis. EBITDA segmen agribisnis melesat 122% secara tahunan.
"Hal ini disebabkan oleh
average selling price (ASP) CPO yang lebih tinggi 52,2% secara tahunan, yang sebagian mengimbangi produksi CPO yang lebih rendah karena aktivitas panen yang lebih rendah," ungkap Analis Ciptadana Sekuritas Putu Chantika dalam riset.
Baca Juga: Tantangan Indofood Sukses Makmur (INDF) ke Depan Masih Soal Bahan Baku Putu melihat adanya kekhawatiran investor pada pasokan gandum. Harga gandum yang telah meroket ke rekor tertinggi didorong oleh perang di Ukraina. India pun menghentikan ekspor gandum untuk memenuhi kebutuhan domestik. Namun, Putu melihat harga gandum telah turun menjadi US$ 10 per gantang-US$ 11 per gantang dari US$ 13 per gantang-US$ 14 per gantang pada awal Juni karena optimisme ekspor Ukraina mengingat sesi panen di paruh kedua tahun ini. "Sementara manajemen perusahaan lebih berhati-hati pada harga gandum daripada ketersediaan pasokan mengingat Bogasari memiliki banyak sumber bahan baku seperti Australia dan Amerika Selatan. Sebagai tambahan, Bogasari juga terus menaikkan harga mengingat model cost plus-nya," ucap Putu.
Baca Juga: Siap Hadapi Kenaikan Harga Bahan Baku, Intip Rekomendasi Saham ICBP Berikut Sedangkan Analis Samuel Sekuritas Pebe Peresia mengatakan kenaikan bahan baku sangat terlihat terutama pada Bogasari. Dia memperkirakan Indofood akan menaikkan harga cukup tinggi untuk menutup kenaikan harga gandum. Analisis JP Morgan Benny Kurniawan optimistis prospek jangka panjang INDF positif meski ada hambatan pada biaya input. Dia menyebut, Indofood telah mengambil langkah kenaikan harga dan efisiensi biaya untuk menghadapi kenaikan bahan baku. Benny menambahkan, bisnis mie berada di posisi prima untuk meneruskan kenaikan harga. Dia tidak melihat adanya penurunan volume secara signifikan meskipun ada kenaikan harga. "Mi instan adalah konsumsi pokok di Indonesia dalam pandangan kami dan karena itu kami melihat kenaikan harga diserap oleh konsumen dengan konsekuensi negatif yang minimal," ujar Benny.
Baca Juga: Indofood, Wings Group dan Mayora Jadi Pilihan Utama, Ini Rahasianya Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo mengatakan, prospek INDF masih positif. Mobilitas yang kembali normal serta konsumsi yang mulai pulih bisa mendorong kinerja dari INDF. "Kami memproyeksikan pendapatan INDF sepanjang tahun 2022 akan tumbuh 10%, dan net profit tumbuh 6%," ucap Azis. Pebe mengatakan sentimen yang dapat mendukung kinerja INDF berasal dari pertumbuhan ekonomi pasca pandemi dan kenaikan volume penjualan ICBP dari Pinehill. Sementara sentimen penghambat berasal dari kenaikan harga bahan baku. Azis menilai secara valuasi saham INDF sendiri masih tergolong murah dibandingkan dengan kompetitornya walaupun masih di atas ICBP dan MYOR, tetapi INDF memiliki lini bisnis yang terintegrasi.
Azis rekomendasikan
buy untuk saham INDF dengan target harga Rp 8.050 per saham. Sedangkan Pebe merekomendasikan
buy untuk saham INDF dengan target harga Rp 7.150 per saham. Putu merekomendasikan saham INDF
buy dengan target harga sebesar Rp 8.200 per saham. Sementara Benny merekomendasikan
overweight untuk INDF dengan target harga Rp 7.050 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati