Indonesia akan ratifikasi pengendalian tembakau



JAKARTA. Pemerintah sudah mencapai kata sepakat untuk meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk menekan dampak negatif produk tembakau kepada masyarakat. Pemerintah sudah menyiapkan peraturan presiden (Perpres) soal ratifikasi tersebut.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Agung Laksono menyatakan, Perpres itu akan terbit pada pengujung tahun ini. Kini, instansi pemerintah seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan, masih menyiapkan beleid itu.

Menurut Agung FCTC yang akan diratifikasi ini hanya sebagai pedoman umumnya saja. Untuk pedoman teknisnya akan diatur lagi dengan peraturan ditingkat kementerian masing-masing.


Agung berharap, dengan  banyak melibatkan beberapa kementerian dalam perumusan aturan ini, maka bisa mencegah konflik kepentingan dari berbagai sektor. Mengingat, produk hasil tembakau memiliki pengaruh yang cukup besar, mulai dari sisi tenaga kerja, pendapatan negara, kesejahteraan masyarakat, maupun efek negatif bagi bidang kesehatan.

Dia yakin, ratifikasi ini tidak akan mematikan pabrik rokok. "Juga tidak akan melarang orang merokok, dan juga tidak akan mematikan petani tembakau," klaim Agung.

Agung mencontohkan China yang meneken ratifikasi FCTC ini empat tahun lalu, produksi rokoknya justru meningkat, meski jumlah perokok barunya menurun. Kendati begitu, Agung tidak berani menjamin ratifikasi ini otomatis akan membuat jumlah perokok di Indonesia menurun. "Pastinya, dengan ratifikasi ini, semua sepakat melindungi masyarakat dari bahaya rokok," tandasnya.

Memicu pengangguran

Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, menilai ratifikasi FCTC bakal memicu pengangguran. Pemerintah tidak mempertimbangkan industri rokok rumahan. "Pemerintah makin tidak pro terhadap pekerja dan buruh," ujar Poempida.

Poempida meyakini, tidak ada untungnya bagi Indonesia meratifikasi FCTC. Kebijakan global itu tidak cocok bagi Indonesia karena memiliki industri rokok yang unik, mulai dari industri besar hingga rumahan. Ia pun meyakini, adanya ratifikasi ini merupakan buah campur tangan asing yang takut dengan perkembangan industri tembakau Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Abdus Setiawan, juga berteriak keras soal rencana ratifikasi FCTC. Ia menyebut  ratifikasi sebagai kesalahan. Soalnya, dengan ratifikasi itu, pemerintah wajib mencarikan solusi tanaman lain bagi petani tembakau. "Nyatanya sampai saat ini belum ada solusi alternatifnya," tegas Abdus, Minggu (17/11).

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Hasan Aony Aziz juga menyebut, ratifikasi akan menurunkan perdagangan tembakau dan produk turunannya. Industri bidang tembakau dan turunannya akan terkena dampaknya. Hal ini akan menyebabkan pengangguran meningkat karena pengusaha rokok kecil kian susah jualan rokok.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie