KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai potensi kerja sama Indonesia–Amerika Serikat (AS) dalam pengelolaan mineral kritis masih terbuka lebar, mengingat kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia serta besarnya kebutuhan AS terhadap komoditas strategis tersebut. Menurut Myrdal, apabila AS ingin memperkuat akses terhadap mineral kritis Indonesia, skema yang paling memungkinkan adalah melalui penanaman modal asing atau Foreign Direct Investment (FDI) ketimbang ekspor. Melalui FDI, perusahaan AS dapat melakukan eksplorasi dan pengolahan mineral di dalam negeri dengan tetap mengikuti prosedur dan regulasi yang berlaku di Indonesia.
“Kalaupun Amerika Serikat ingin masuk dan melakukan eksplorasi sumber daya alam kita, mau tidak mau mereka harus mengikuti prosedur yang ada. Mereka bisa masuk lewat FDI, atau melakukan impor langsung,” ujar Myrdal kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).
Baca Juga: Indonesia Buka Ekspor Mineral Kritis ke AS, Ada Peran Danantara Ia menjelaskan, skema impor langsung akan sangat bergantung pada ketersediaan stok mineral di dalam negeri. Sementara melalui FDI, pengaturan pasokan mineral dapat dilakukan melalui kesepakatan lanjutan, termasuk pengiriman hasil tambang ke AS berdasarkan perjanjian investasi. “Kalau skemanya via FDI dan ada pengiriman tambahan ke Amerika Serikat, maka dari sisi perdagangan jelas ini positif karena surplus dagang kita bisa bertambah. Prospeknya sebenarnya cukup bagus,” jelasnya. Myrdal menekankan, persoalan pemberian izin maupun pembukaan akses mineral kritis sejatinya lebih bersifat teknis. Selama peluang dan celahnya ada serta sesuai prosedur, kerja sama tersebut dinilai sah dan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia. Dari sisi neraca perdagangan, Myrdal mencatat hubungan dagang Indonesia dengan AS selama ini cukup solid. Indonesia secara konsisten mencatatkan surplus perdagangan dengan AS, bahkan mencapai minimal US$ 1 miliar per bulan. “Market Amerika itu sangat besar buat kita. Dari sisi trade surplus saja sudah kelihatan kontribusinya,” katanya. Namun, ia mengingatkan bahwa dinamika hubungan dagang ke depan juga dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan AS, termasuk perjanjian dagang baru yang muncul sejak era Presiden Donald Trump. Dalam konteks tersebut, AS dinilai memiliki kepentingan untuk masuk lebih kuat ke pasar Indonesia, meskipun Indonesia sendiri menganut prinsip perdagangan terbuka.
Baca Juga: AS Minta Akses Mineral Kritis RI, Ekonom: Sepadan Bila Imbal Balik Nyata Di sisi lain, peluang peningkatan impor dari AS juga bergantung pada kapasitas dan kebutuhan domestik Indonesia, baik dari sisi konsumen maupun pelaku industri. Dengan demikian, permintaan dalam negeri menjadi faktor penentu selain intensi AS untuk meningkatkan ekspor ke Indonesia. “Pada akhirnya yang menentukan bukan hanya niat Amerika Serikat, tapi juga demand dari kita sendiri,” ujarnya. Meski begitu, Myrdal menilai posisi Indonesia tetap strategis bagi AS. Hal ini tercermin dari tingginya permintaan AS terhadap produk-produk Indonesia serta besarnya investasi perusahaan AS di Tanah Air, khususnya di sektor tekstil dan alas kaki, yang sebagian besar hasil produksinya diekspor kembali ke pasar Amerika Serikat. “Amerika sebenarnya butuh kita. Banyak produk Indonesia yang memang dibutuhkan oleh mereka, ditambah lagi banyak perusahaan Amerika yang melakukan FDI di sini dan produknya dikirim ke sana,” pungkas Myrdal. Perlu diketahui, Pemerintah membuka akses ekspor mineral kritis ke Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari kesepakatan dagang resiprokal atau Agreement on Reciprocal Tariff (ART). Akses tersebut mencakup komoditas strategis, mulai dari nikel hingga logam tanah jarang (rare earth).
Baca Juga: Trump Minta Mineral Kritis, Airlangga Tegaskan Tak Akan Ekspor Ore ke AS Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pembahasan kerja sama dengan AS mencakup seluruh sektor strategis, termasuk penghiliran mineral. Pemerintah pun memastikan peluang investasi bagi perusahaan AS di sektor mineral kritis terbuka lebar. “Critical mineral sudah ada pembicaraan Danantara dengan badan ekspor di Amerika dan beberapa pihak lainnya. Bahkan, ada perusahaan Amerika yang sudah berbicara langsung dengan perusahaan mineral kritis di Indonesia,” ujar Airlangga saat ditemui di Pondok Indah Mall, Jakarta, Jumat (26/12/2025). Airlangga mengungkapkan, Danantara akan berperan sebagai penghubung utama dengan skema business to business (B2B). Minat korporasi AS tidak hanya datang dari pemain lama, tetapi juga perusahaan teknologi dan otomotif global seperti Ford Motor Company hingga Tesla yang membidik pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik. Ia menegaskan, pembukaan akses mineral kritis bagi AS bukan merupakan kebijakan baru. Menurutnya, investasi AS di sektor pertambangan Indonesia telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Airlangga mencontohkan Freeport McMoran yang telah beroperasi di sektor tembaga sejak 1967 dan kini memiliki fasilitas pemurnian (refinery) di Gresik. Selain itu, Vale juga telah menggarap sektor nikel di Indonesia sejak era 1970-an.
Baca Juga: Indonesia Tawarkan Proyek Mineral Kritis kepada AS, Bagian dari Negosiasi Tarif Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News