KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sepakat membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk merealisasikan rencana ekspor nikel jangka panjang.
Sebelumnya, Presiden Indonesia, Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden di Washington DC menjelang KTT APEC di San Fransisco. Salah satu yang dibahas ialah potensi kesepakatan mineral kritis dalam mendorong perdagangan nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik.
Salah satu hasil penting dari pertemuan itu ialah disepakatinya penguatan kerja sama mineral kritis, dengan dibentuk rencana kerja (work plan) menuju pembentukan Critical Mineral Agreement (CMA).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan, sebelumnya ada penolakan dari senat Amerika terhadap mineral dari Indonesia khususnya nikel.
Baca Juga: Dukung Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, MIND ID Geber Kapasitas Produksi Aluminium “Namun kemarin Presiden Indonesia dan Presiden Amerika sudah bicara, setuju dengan CMA program, jadi ada kelompok kerja untuk bisa merumuskan, bisa jalan,” ujarnya ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (17/11).
Nantinya, kedua negara akan membentuk tim untuk merumuskan kesepakatan dan rencana jangka panjang. Melalui ini, produk nikel dari Indonesia bisa dengan lancar masuk ke Amerika melalui
free trade aggreement (FTA).
Memang hingga saat ini, CMA baru sebatas pada produk nikel saja karena dinilai paling dibutuhkan untuk membantu transisi energi.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menjelaskan, diskriminasi nikel oleh Amerika Serikat terutama disebabkan oleh dominasi perusahaan China yang menguasai hilirisasi nikel di Indonesia.
Baca Juga: Ini Kata Pemerintah Terkait Angka Ekspor Batubara Indonesia yang Berbeda “Karena nikel banyak dikuasai oleh perusahaan dari China sebagai pemegang saham mayoritasnya. Hal ini yang menghambat Indonesia mendapatkan fasilitas kepabeanan yang selama ini didapatkan Indonesia,” ujarnya kepada
Kontan.co.id, Kamis (16/11).
Rizal menjelaskan lebih lanjut, China merupakan pemain utama dunia untuk banyak mineral strategis yang menjadi kebutuhan industri maju. Namun, Amerika tidak ingin adanya ketergantungan terhadap China akan kebutuhan bahan baku tersebut.
“Untuk itu pemerintah AS harus mencari negara lain yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus melibatkan China dalam
supply chain,” jelasnya.
Adanya CMA, lanjut Rizal, merupakan langkah strategis ke depan, mengingat Indonesia memiliki potensi cadangan nikel terbesar di dunia dan harus bisa menjadi pemain rantai pasok global terutama di bidang kendaraan listrik.
Rizal mengemukakan, potensi ekspor produk turunan nikel sangat besar apabila kesepakatan CMA terjadi. Kementerian ESDM memperkirakan kekayaan nikel mencapai US$ 200 miliar, tentu nilai yang cukup besar untuk dikembangkan oleh pemerintah.
Baca Juga: Kinerja Masih Bertumbuh, Begini Rekomendasi Saham ANTM dari Analis Berikut Ini Menurut Badan Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel Indonesia mencapai 1,6 juta metrik ton (MT) pada 2022, sedangkan Filipina hanya 330.000 MT, dan Rusia 220.000 MT. Berdasarkan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), cadangan nikel di Indonesia sekitar 4,5 miliar ton yang terdiri dari 900 juta ton untuk kadar tinggi (kandungan nikel di atas 1,8%) dan 3,6 miliar ton untuk nikel kadar rendah atau nikel limonit. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli