KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keran ekspor produk aluminium Indonesia ke Amerika Serikat bakal kembali dibuka setelah Otoritas Penyelidik Amerika Serikat (AS) memutuskan hasil penyelidikan bea masuk antidumping (BMAD) dan antisubsidi (countervaling duty/CVD) dengan tanpa pengenaan BMAD dan CVD. Beberapa perusahaan seperti PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) bersiap memanfaatkan momentum ini untuk menggenjot ekspor. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan, Amerika Serikat merupakan pasar utama bagi salah satu produsen Indonesia. Perusahaan pengekspor ke Negeri Paman Sam tersebut sangat serius menghadapi penyelidikan dumping dan subsidi dari Amerika Serikat. Artinya mereka menganggap pasar AS sangat penting.
Baca Juga: Adaro Minerals (ADMR) Beberkan Progres Proyek Smelter Aluminium di Kalimantan "Kami, selaku pemerintah menjalankan tugas membantu produsen eksportir agar akses pasar ekspor sedapat mungkin senantiasa terbuka," kata Isy kepada Kontan, Kamis (21/11). Setelah hambatan tersebut dapat ditanggulangi, lanjut Isy, maka semua peluang dikembalikan kepada produsen eksportir tersebut. Dari data, nilai ekspor aluminum ekstrusi Indonesia ke pasar AS pada tahun 2021 dan 2022 menembus US$ 130 juta, namun sempat turun ke US$ 100 juta pada tahun 2023 saat Indonesia masuk dalam masa penyelidikan. "Dengan demikian, besar harapan kita ketika penyelidikan berakhir tanpa pengenaan anti-dumping (AD) maupun bea masuk imbalan (CVD), kinerja eskpor aluminum ekstrusi Indonesia ke AS bisa kembali naik," ungkap Isy. Corporate Secretary Inalum Mahyaruddin Ende menyambut kabar baik dari keputusan dari US DoC untuk meniadakan bea masuk anti dumping and antisubsidi. Ende bilang hasil perjuangan sejak akhir tahun 2023 Inalum turut berperan aktif mendukung tim Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag RI dalam proses verifikasi dengan tim US Doc. "Kami yakin volume ekspor akan terus bertambah, hal ini juga seiring dengan rencana ekspansi Inalum ke depannya," kata Ende kepada Kontan, Jumat (22/11). Ende mengakui bahwa sejak diberlakukannya aturan ini, penjualan billet Inalum ke customer ekstrusi yang berorientasi ekspor mengalami penurunan hingga 50% dibanding tahun-tahun sebelumnya. "Sehingga harapan kami ke depannya customer ekstrusi tersebut akan mulai meningkatkan pembeliannya seperti semula," jelas Ende.
Baca Juga: RI Bebas Tuduhan BMAD dan CBD, Keran Ekspor Aluminium ke AS Bakal Meningkat Ende menambahkan, pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 diperkirakan masih positif diangka 2.8%, sehingga dengan peniadaan aturan baru tersebut, ditambah dengan upaya terus menerus dalam pengembangan produk dan peningkatan brand awareness Inalum secara global, Inalum meyakini volume ekspor akan terus bertambah, hal ini juga seiring dengan rencana ekspansi Inalum ke depannya. Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), Febriati Nadira mengatakan, saat ini ADMR melalui anak usahanya, PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI), masih fokus melaksanakan kegiatan konstruksi smelter aluminium dengan target COD tahun 2025. Smelter KAI tahap pertama ini akan memiliki kapasitas produksi sebesar 500.000 ton aluminium per tahun. Paralel dengan fase konstruksi, saat ini KAI juga sudah melakukan penjajakan terhadap pasar domestik serta potensi ekspor aluminium ke beberapa negara konsumen aluminium terbesar termasuk Amerika Serikat. "Adanya kebijakan proteksi AS tersebut tentunya menjadi salah satu poin pertimbangan penting dalam menggarap pasar Amerika Serikat," kata Nadira kepada Kontan, Jumat (22/11). Menurut Nadira, ada potensi untuk Indonesia bisa lagi di pasar ekspor Amerika Serikat. Hanya saja untuk pasar ekspor negara lain yang tidak menerapkan kebijakan proteksi, maka ada kemungkinan terjadi persaingan yang ketat karena ada pergeseran tujuan ekspor oleh negara eksportir aluminium yang terkena kebijakan dumping. Namun secara global, kata Nadira, Indonesia juga berpeluang untuk meningkatkan pangsa ekspornya mengingat permintaan aluminium diperkirakan akan terus bertumbuh, terutama dengan didorong oleh perkembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik. Peluang ini yang perlu diterjemahkan oleh Pemerintah Indonesia agar bisa mendorong perkembangan ekosistem industri aluminium berikut turunannya di Indonesia Untuk diketahui, hasil penyelidikan BMAD dan CVD berlaku untuk negara-negara tertuduh, termasuk Indonesia, menjadi keputusan United States of International Trade Commission (USITC).
Rilis dari USITC melaporkan, Pemerintah AS tidak mengenakan tindakan antidumping dan antisubsidi atas impor aluminium ekstrusi dari seluruh negara subjek penyelidikan. Indonesia juga dinilai tidak menyebabkan kerugian material bagi industri dalam negeri Amerika Serikat. Hasil ini dikeluarkan setelah komisioner dari USITC bersidang dan mengambil keputusan melalui mekanisme suara terbanyak (voting).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi