KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2020 akan berkisar antara -1,7% hingga -0,6%. Pemerintah juga memproyeksi, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 bakal berada dalam rentang -2,9% hingga -1,1%. Sebelumnya, pada kuartal II-2020, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif, yakni -5,32%. Sebagaimana diketahui, apabila pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun, maka Indonesia dipastikan masuk ke dalam resesi. Dalam kondisi seperti ini, PT Bahana TCW Investment Management memiliki sejumlah indikator bagi investor untuk mengukur kelayakan investasi pada saham dan surat berharga negara (SBN).
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, ada tiga indikator yang perlu dicermati.
Baca Juga: Mengintip peluang reksadana saham di tengah PSBB Jakarta yang kembali diperketat Pertama, pertumbuhan M1 (uang kartal dan uang giral) yang mencerminkan daya beli terkait dengan percepatan realisasi stimulus.
Kedua, apakah investor asing kembali masuk ke dalam SBN.
Ketiga, apakah terlihat indikasi penyaluran kredit. Menurut Budi, indikator pertama terus membaik yang ditopang oleh percepatan penyaluran dana bantuan sosial. Sementara indikator kedua naik secara gradual yang menghalangi penguatan rupiah. "Sayangnya, indikator ketiga masih menunjukkan perlambatan. Padahal, indikator ini yang paling penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menopang cuan saham,” ungkap Budi dalam siaran pers, Selasa (29/9). Budi berharap, pemerintah terus memacu realisasi stimulus pos dukungan kesehatan, insentif usaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan penjaminan kredit hingga akhir tahun. Menurut Budi, saat ini investor tengah mengantisipasi adanya kerusuhan dalam pelaksanaan pemilihan presiden Amerika Serikat. Oleh karena itu, ia memprediksi bursa saham akan bergerak turun naik pada interval tertentu (sideways) akibat faktor eksternal. Meskipun begitu, secara statisitik, umumnya bursa saham akan menghijau setiap bulan Desember. Melihat kondisi ini, bagi investor awam yang tidak tahan volatilitas, Budi menyarankan untuk tetap bersikap defensif dengan berinvestasi pada reksadana pasar uang dan SBN. Sementara bagi investor yang ahli, Budi menyarankan mencadangkan uang tunai untuk membeli saham bervaluasi murah secara selektif.
Pemulihan ekonomi
Berbeda dengan sejumlah ekonom yang memproyeksikan pemulihan ekonomi mengikuti pola huruf U, Z, L atau W, Budi meyakini bahwa polanya membentuk huruf K. Pasalnya, investor global menyakini, profil dunia setelah pandemi Covid-19 bakal berubah drastis. Hal ini terlihat pada saham sektor teknologi informasi dan layanan digital seperti Apple, Amazon, Microsoft, Nvidia, PayPal, dan Netflix yang meroket. Sementara saham perminyakan Exxon Oil, keuangan JP Morgan Chase dan Wells Fargo, serta penerbangan Boeing terjerembab. "Perbedaan kinerja tajam ini mirip seperti huruf K. Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia dengan sejumlah keunikan," ucap Budi. Menurut dia, saham telekomunikasi nasional ternyata baru dianggap kuat pada digital backbone, belum digital services. Ketika terjadi Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) lanjutan, lini bisnis utama yang masih ditopang percakapan suara dan SMS mengalami penurunan.
Baca Juga: Bahana TCW: Reksadana offshore tetap menarik meski dolar AS melemah Sementara itu, saham sektor konsumsi bisa diuntungkan dengan percepatan pencairan dana bantuan sosial. Saham perbankan dapat diuntungkan setelah bank-bank menekan bunga deposito dan menempatkan kelebihan likuiditas yang tidak dapat disalurkan sebagai kredit dalam SBN sehingga kepemilikan mereka melebihi investor asing. Sementara prospek saham crude palm oil (CPO) ditopang oleh perekonomian China yang terus menguat. Budi menilai, pelemahan rupiah saat ini berlebihan dan berharap bisa menguat hingga akhir tahun. Arus masuk modal asing juga tetap diharapkan, mengingat suku bunga di luar negeri saat ini terbilang yang terendah sepanjang sejarah sebagai dampak stimulus masif berbagai bank sentral.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi