Indonesia bisa andalkan India serap olahan kelapa sawit



JAKARTA. Indonesia bisa mengandalkan India untuk menyerap hasil pengolahan kelapa sawit. Hal tersebut sebagai sarana agar eksportir dalam negeri tidak mengekspor kelapa sawit secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan nilai tambah produk. Selama ini, sekitar 73,5% hasil olahan kelapa sawit asal Indonesia diekspor ke India. Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana mengutarakan, bersama komoditi lainnya seperti hasil pengolahan karet dengan porsi ekspor menuju India sebesar 4,9%, kimia dasar 3,6%, pulp dan kertas 3,3%, serta elektronika 2,5%, Indonesia menghasilkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 4 miliar pada 2010. Hal tersebut didukung peningkatan rata-rata ekspor sebesar 23% yang jauh lebih tinggi ketimbang peningkatan rata-rata impor sebesar 17%. Tingginya pangsa pasar hasil pengolahan kelapa/kelapa sawit itu seharusnya, kata dia, memberikan tanda bagi eksportir kelapa sawit untuk memberikan peluang peningkatan produksi pada industri hilir. Hasil pengolahan kelapa/kelapa sawit nantinya bisa dikerek pertumbuhan ekspornya untuk meningkatkan pangsa pasar di India. Apalagi, penetrasi produk pengolahan kelapa/kelapa sawit di India masih sekitar 4,3%. Dia mengatakan, rendahnya penetrasi pasar produk industri menuju negara ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor produk bernilai tambah. "Apalagi pasar negara ini sangat besar," katanya, Jumat (16/9).

Disintensif ekspor sawit Pemerintah pun telah menyiapkan disinsentif untuk ekspor kelapa sawit. Aturan disinsentif itu dilansir melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No128 tahun 2011. PMK itu mengatur tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar sebagai perubahan atas PMK No67/PMK.011/2010. PMK itu merupakan payung hukum pelaksanaan restrukturisasi bea keluar untuk kelapa sawit dan produk turunannya. Prinsipnya, tarif bea keluar produk hilir khususnya minyak goreng bakal diberlakukan lebih rendah ketimbang tarif yang diterapkan pada bahan bakunya yaitu kelapa sawit. Selain itu, tarif bea keluar untuk minyak goreng curah dan kemasan (bermerek) ditetapkan pada tingkat yang cukup rendah. Lalu, produk hydrogenated, bungkil, dan PFAD sebagai bahan baku industri mendapatkan pengenaan bea keluar. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat juga mengutarakan, kebijakan itu digunakan untuk membendung ekspor kelapa sawit besar-besaran yang menyebabkan rendahnya utilisasi industri hilir. Apalagi, dari total produksi kelapa sawit sebesar 23 juta ton, sekitar 13,5 juta ton langsung habis untuk kebutuhan ekspor. Sisanya untuk kepentingan industri hilir yang utilisasinya pun masih minim. Misalnya, minyak goreng 44% dan biodiesel 10%. Dengan adanya regulasi baru itu, menurutnya, akan menarik investasi di sektor hilir. Seperti, investasi industri hilir di tiga lokasi klaster IHKS (Sei Mangke, Dumai dan Maloy) dengan perkiraan nilai US$3 miliar. "Disinsentif ini diharapkan menarik minat investor lain berinvestasi," ujarnya. Selain itu, lanjut Hidayat, penerapan bea keluar itu akan memberikan dampak ekonomis berkembangnya 43 jenis industri hilir kelapa sawit. Bahkan, perusahaan besar sudah berkomitmen membangun investasi baru berbasis kelapa sawit dengan nilai lumayan besar. Yaitu, Wilmar Group mendirikan integrated oleo chemical senilai US$900 juta, Permata Hijau Group membangun integrated oleo chemical sekitar Rp2 triliun, Domba Mas mendirikan fatty acid and fatty alcohol senilai US$180 juta, dan PTPN III mendirikan kawasan industri plus pabrik oleo chemical senilai Rp3 triliun. Namun, untuk diketahui, batas minimum pengenaan bea keluar pada PMK No128 tahun 2011 sebesar US$750 per ton, sedangkan pada PMK No67/PMK.011/2010 ditetapkan sebesar US$700 per ton. Lalu, untuk batas atas bea keluar pada PMK baru ditetapkan 22,5% atau turun dari ketentuan PMK lama sebesar 25% pada tingkat harga US$1250 per ton. Aturan baru itu menetapkan bea keluar lebih tinggi untuk kelapa sawit pada tingkat harga di bawah US$1100 per ton terutama pada tingkat harga US$950-US$1100 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: