KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Indonesia bisa menjadi episentrum atau pusat penyebaran corona ketiga di Asia, setelah Cina dan India. Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, kajian yang dilakukan Fakultas Kesehatan UI, tingkat infeksi virus corona akan terus mendaki hingga September atau Oktober, dengan angka infeksi bisa mencapai 4.000 kasus per hari. “Kondisi ini terjadi karena strategi yang dilakukan pemerintah saat ini kurang tepat sehingga penyebaran masih akan massif,” ujar Pandu Riono, kepada KONTAN, (6/1). Pengujian yang dilakukan pemerintah saat ini yakni dengan menyasar semua orang berpotensi meleset dalam mendeteksi orang tanpa gejala.
“Testing, lacak, isolasi harusnya dilakukan lebih ketat untuk menekan penyebaran, bukan dengan testing ke semua orang tanpa gejala,” ujar dia. Skala pengujian Covid-19 di Indonesia yang masih kecil testing atau pengujian harus lebih terukur. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kata dia, tak berhasil di Indonesia. Dampak ekonomi akan lebih parah. Kata dia, ekonomi membutuhkan interaksi. “Semua orang mau ekonominya jalan, mau UKM, mau perusahaan besar, harus jalan. PSBB akan membuat ekonomi jatuh,” ujar dia. Juni lalu, banyak provinsi telah mulai mengendorkan kebijakan jarak sosial dan pembatasan lainnya, di tengah meningkatnya tekanan terhadap ekonomi Indonesia dan tenaga kerja informal besar negara tersebut. Menurutnya, dengan struktur ekonomi Indonesia yang lebih banyak digerakan oleh konsumsi, Pandu mendesak pemerintah untuk secara masif mengampanyekan "3M" yakni mencuci tangan, menjaga jarak, dan mengenakan masker. “Ini upaya untuk menekan penyebaran Covid-19, dengan struktur masalah ekonomi kita,” ujar dia. Jika kampanye itu dijalankan, Pandu memprediksi tingkat Covid-19 akan memuncak pada Juli dan mulai turun pada Oktober. "Jadi mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker (3M) harus menjadi kampanye negara dan dilakukan dan dikendalikan otoritas kesehatan,” ujar Pandu. Ia mengibaratkan doktrin 3M laiknya dilakukan seperti penggunaan seat belt saat landing pesawat. “Bahwa 3 M harus dilakukan karena risiko tinggi Covid-19, kampanye harus masif” ujar dia. Saat ini, Indonesia menguji sekitar 10.000 orang dan memproses sekitar 20.000 spesimen per hari. Tingkat tesnya adalah 3.377 orang per satu juta orang. Sebagai perbandingan, menurut situs web pemantauan virus corona, Worldometer, per satu juta orang Singapura melakukan tes terhadap 129.509 orang, Malaysia 24.854 orang, Thailand 8.648 orang, Filipina 7.286 orang, dan Australia 107.888 orang.
The Age dan
Sydney Morning Herald, 6 Juli, melaporkan, dalam beberapa minggu terakhir, dalam briefing harian tentang virus corona, Achmad Yurianto, Sekretaris Direktorat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kementerian Kesehatan Indonesia menekankan bahwa dari 34 provinsi, banyak provinsi tidak memiliki atau memiliki tingkat infeksi corona minimal. Pada 29 Juni, misalnya, Yurianto menyatakan, 13 provinsi telah melaporkan nol kasus dalam satu hari, seperti Aceh, Bengkulu, Yogyakarta, Jambi, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Timur Nusa Tenggara dan Gorontalo. Masalahnya, analisis tingkat pengujian dengan PCR di beberapa provinsi tersebut tidak secara teratur diterbitkan oleh pihak berwenang. Beberapa provinsi bahkan menolak untuk berbagi secara langsung dengan dua media tersebut. Malah terungkap, tingkat pengujian rendah di provinsi tersebut. Provinsi Aceh, yang dihuni kurang dari 5 juta orang sebagai contoh. 28 Juni lalu, memiliki 79 infeksi nyatanya hanya menguji 436 orang saja per satu juta penduduk. Provinsi Jambi dengan penghuni hampir 3,4 juta orang memiliki 117 infeksi , namun menguji 94 orang per 1 juta orang.
Secara total, delapan dari 13 provinsi yang terdaftar oleh Yurianto telah mencatat kurang dari 1.000 tes PCR per 1 juta orang atau kurang dari sepertiga dari rata-rata nasional. Padahal tes PCR dianggap sebagai standar emas dan jauh lebih akurat daripada tes cepat berbasis darah. Itu berarti, kata Pandu, beberapa provinsi "tidak benar-benar hijau" meskipun pemerintah mengklaim tingkat infeksi sangat rendah. "Kami tidak dapat membenarkan bahwa suatu daerah adalah zona hijau ketika pengujian sangat rendah, itu tidak dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip epidemiologis," kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Titis Nurdiana