KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengungkapkan, Indonesia membutuhkan investasi hingga US$ 1 triliun untuk mendukung pencapaian
Net Zero Emission di tahun 2060 mendatang. “Untuk mendukung transisi energi di Indonesia dibutuhkan investasi hingga US$ 1 triliun hingga 2060 untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan membangun transmisi. Kita membutuhkan dukungan finansial,” jelasnya dalam acara Indonesia Sustainbale Energy Week 2022, Senin (10/10). Selain mengembangkan EBT dan transmisi, dana tersebut juga akan mendukung Indonesia mengimplementasi pemensiunan dini Pembangkit Listrik Bertenaga Batubara (PLTU).
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) Siapkan Tiga Strategi Capai Target Net Zero Emission Sejatinya, Indonesia sebagai bagian dari komunitas global telah berkomitmen untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam
roadmap pengembangannya, Indonesia memiliki potensi 700 GW energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi di mana paling banyak bersumber dari energi surya, lalu air, laut, geothermal, dan dari sumber lainnya seperti hidrogen dan nuklir. Selain itu, Rida menjelaskan, Indonesia juga akan melakukan dekarbonasi, mengutilisasi penggunaan kendaraan listrik, hingga melaksanakan program efisiensi energi. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan untuk mencapai investasi US$ 1 triliun hingga 2060 dibutuhkan investasi rata-rata setiap tahunnya US$ 30 miliar hingga US$ 40 miliar untuk 30 tahun ke depan. “Sementara kalau angka investasi energi terbarukan saat ini kurang dari US$ 2 miliar per-tahunnya, bahkan di tahun lalu hanya US$ 1,6 miliar karena ada kendala Covid-19 sehingga tidak bisa terealisasi,” jelasnya dalam kesempatan yang sama. Menurut Fabby untuk mencapai investasi US$ 1 triliun sejatinya bukan hal yang sulit jika pengembangan PLTS Atap bisa dipercepat dan masuk dalam skala yang lebih besar. Menurutnya, pengembangan PLTS Atap jarang mengalami hambatan pembebasan lahan karena secara praktis atapnya sudah ada. Menurut analisis IESR, potensi PLTS atap untuk segmen rumah tangga bisa mencapai 8 GW. PLTS Atap untuk rumah tangga idealnya berkapasitas 2 kilowatt peak (KWp). Berdasarkan ketentuan Permen ESDM No 26 Tahun 2021, pelanggan dengan daya 2.200 VA jumlahnya lebih dari 5 juta hingga 6 juta.
Baca Juga: Pemerintah Optimistis Mendorong Transisi Energi Menuju Net Zero Emission (NZE) Adapun menurut hasil
market survey, lanjut Fabby, jika ada 4 rumah tangga yang memasang PLTS Atap dengan rata-rata 2 KWp saja maka akan ada penambahan 8 GW. Selain dari sektor rumah tangga, Fabby menyatakan, potensi PLTS Atap di sektor industri juga punya potensi yang besar. “Kalau gap sampai 3 GW hingga 4 GW sampai 2025 di luar RUPTL maka PLTS Atap ditambah dengan PLTS di kawasan industri sangat mungkin tercapai bahkan bisa lebih,” ujarnya.
Fabby memaparkan besaran investasi rata-rata PLTS Atap skala industri mencapai US$ 900 hingga US$ 1.000 per kilowatt. “Jadi kalau bicara indutrial scale size saja dengan rata-rata US$ 1.000 per KW maka sekitar US$ 4 miliar yang bisa masuk dari sisi PLTS Atapnya saja,” terangnya. Pihaknya mengapresiasi PLTS Atap sudah menjadi Program Strategis Nasional (PSN) yang tertuang dalam Permenko No 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. “Kami ingin mendorong bisa dilaksanakan secara optimal, dengan demikian transisi energi bisa lancar dilaksanakan. Investasi US$ 1 triliun bukan hal yang sulit,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .