KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Defisit neraca minyak dan gas akan makin besar pada 2025 hingga mencapai puncaknya pada 2050. Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, Syamsu Alam mengatakan hingga 2050 kebutuhan migas khususnya minyak secara persentase belum berkurang secara signifikan dan masih akan mencapai 2 juta-3 juta barel per hari (bph). Tapi jika melihat cadangan Indonesia yang hanya 3,5 bilion BOE atau hanya 0,2% dari cadangan minyak dunia, maka dibutuhkan usaha luar biasa agar produksi nasional bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. “Kita harus ingat, produksi minyak saat ini 800.000 itu yang 200.000 bph berasal dari Banyu Urip. Kalau tidak ada Banyu Urip, produksi hanya 500.000-an. Kalau tidak menemukan Banyu Urip lainnya, kita akan menghadapi masalah besar nantinya,” ujar Syamsu. Menurut Nanang Abdul Manaf, Wakil Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, berdasarkan neraca sumber energi primer minyak dan gas bumi 2025 dan 2050, pada 2025 akan ada defisit minyak sebesar 1,39 juta bph dan 2.837 juta standar kaki kubik per hari (MMCFD) gas. Defisit akan makin besar pada 2050, yakni 3,82 juta BOPD minyak dan 24.398 MMSCFD gas. Nanang mengatakan ada beberapa langkah untuk meningkatkan produksi dan menutup defisit pada 2025 dan 2050. Langkah tersebut di antaranya adalah insentif untuk usaha-usaha eksplorasi sebagai antisipasi jangka panjang, percepatan POD/POFD, secondary dan tertiary recovery project (EOR), dan pencarian upside potential di mature field. “Selain itu perlu mendorong BUMN migas atau perusahaan energi nasional untuk mencari sumber energi di luar Indonesia,” kata Nanang dalam Seminar "Energi Neraca Energi Indonesia, Suatu Tinjauan Kritis Sektor Migas” yang digelar Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung di Jakarta pada Selasa (19/2).
Indonesia dalam masalah besar jika tidak menemukan blok migas setara cepu
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Defisit neraca minyak dan gas akan makin besar pada 2025 hingga mencapai puncaknya pada 2050. Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, Syamsu Alam mengatakan hingga 2050 kebutuhan migas khususnya minyak secara persentase belum berkurang secara signifikan dan masih akan mencapai 2 juta-3 juta barel per hari (bph). Tapi jika melihat cadangan Indonesia yang hanya 3,5 bilion BOE atau hanya 0,2% dari cadangan minyak dunia, maka dibutuhkan usaha luar biasa agar produksi nasional bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. “Kita harus ingat, produksi minyak saat ini 800.000 itu yang 200.000 bph berasal dari Banyu Urip. Kalau tidak ada Banyu Urip, produksi hanya 500.000-an. Kalau tidak menemukan Banyu Urip lainnya, kita akan menghadapi masalah besar nantinya,” ujar Syamsu. Menurut Nanang Abdul Manaf, Wakil Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, berdasarkan neraca sumber energi primer minyak dan gas bumi 2025 dan 2050, pada 2025 akan ada defisit minyak sebesar 1,39 juta bph dan 2.837 juta standar kaki kubik per hari (MMCFD) gas. Defisit akan makin besar pada 2050, yakni 3,82 juta BOPD minyak dan 24.398 MMSCFD gas. Nanang mengatakan ada beberapa langkah untuk meningkatkan produksi dan menutup defisit pada 2025 dan 2050. Langkah tersebut di antaranya adalah insentif untuk usaha-usaha eksplorasi sebagai antisipasi jangka panjang, percepatan POD/POFD, secondary dan tertiary recovery project (EOR), dan pencarian upside potential di mature field. “Selain itu perlu mendorong BUMN migas atau perusahaan energi nasional untuk mencari sumber energi di luar Indonesia,” kata Nanang dalam Seminar "Energi Neraca Energi Indonesia, Suatu Tinjauan Kritis Sektor Migas” yang digelar Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung di Jakarta pada Selasa (19/2).