Indonesia di Ambang Perang Dagang? (2)



Sebelumnya: Dampak perang dagang oleh Trump: Neraca perdagangan kita meradang (1)

Dalam acara halalbihalal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kamis, (5/7) pekan lalu, kabar mengagetkan itu berembus.

Di hadapan pengurus Apindo dan pelaku usaha, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengungkapkan, bahwa Amerika Serikat (AS) berencana menabuh genderang perang dagang dengan Indonesia.


Peringatan itu keluar tak lama setelah negeri uak Sam resmi memukul genderang perang dagang dengan China.

Dan tak main-main, Presiden AS Donald Trump yang mengeluarkan ancaman tersebut belum lama ini. Sebabnya sama dengan China, ekspor kita lebih besar dibanding barang AS yang masuk ke Indonesia.

Data Departemen Perdagangan AS menunjukkan, defisit neraca ekspor impor AS dan Indonesia tahun lalu mencapai US$ 9,5 miliar.

Sementara defisit dengan China mengukir rekor tertinggi, dengan nilai lebih dari US$ 375 miliar. Meski jauh lebih kecil dibanding China, buat Trump, defisit dengan Indonesia tetap harus diakhiri agar berubah jadi surplus.

Peringatan dari Trump itu, Sofjan mengungkapkan, dia dengar langsung saat berkunjung ke AS beberapa waktu lalu. Untuk memastikan, saat itu juga ia bertanya langsung ke sejumlah orang hingga petinggi di AS. “Jadi, Trump sudah memberi warning untuk mencabut perlakuan khusus terhadap Indonesia di bidang perdagangan,” ungkap Sofjan.

Selama ini, AS memberikan keringanan tarif bea masuk terhadap barang ekspor dari Indonesia. Fasilitas itu mengalir lewat Sistem Tarif Preferensi atawa Generalized System of Preferences (GSP). Melalui GSP, AS memotong bea masuk impor terhadap sejumlah produk Indonesia.

Tindakan tegas

Nah, fasilitas ini yang sekarang sedang dikaji ulang oleh AS, apakah diteruskan atau dihentikan. Ada sekitar 124 produk dan sektor yang saat ini sedang dievaluasi, termasuk tripleks (plywood), kapas, tekstil, dan beberapa hasil perikanan, seperti udang dan kepiting.

Hasil evaluasi atas GSP tersebut baru keluar akhir tahun ini. “Kita harus benar-benar siap. AS tak main main dalam persoalan ini,” tegas Sofjan.

Jika AS menyetop fasilitas itu, tentu produk ekspor Indonesia bakal kena bea masuk dengan tarif normal. Alhasil, harga jual ke konsumen di AS bakal naik, yang bisa berefek ke permintaan.

Tarif bea masuk yang normal ini akan melemahkan daya saing produk Indonesia di pasar AS. Kalau ekspor turun, jelas memengaruhi posisi neraca perdagangan.

Tak pelak, pemerintah langsung bereaksi atas rencana AS tersebut. Pemerintah pun membentuk tim khusus untuk melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat.

Tim ini beranggotakan Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan beberapa kementerian terkait lain.

Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag, mengatakan, Indonesia akan segera terbang ke Amerika untuk menemui Pemerintah AS melalui United State Trade Representative (USTR).

Ini merupakan lembaga yang bertanggungjawab untuk mengembangkan dan merekomendasikan kebijakan perdagangan ke Presiden AS. “Rencananya tanggal 17 Juli nanti kami bertemu membahas masalah ini,” katanya.

Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan bahan-bahan untuk pertemuan itu. Yang jelas, “Dalam pertemuan kami akan menyampaikan, bahwa Indonesia masih layak dinyatakan sebagai negara yang berhak menerima GSP,” ujar Oke.

Kendati masih memilih berdialog dan melakukan lobi-lobi, pemerintah juga siap mengambil tindakan tegas jika AS tetap dengan rencananya tersebut.

“Kalau dapat tekanan, maka perang dagang bisa kita lakukan. Sama halnya AS dan China,” sebut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Defisit yang terjadi dalam hubungan dagang AS–Indonesia, Enggartiasto menilai, sebetulnya lebih lantaran perbedaan data. “Kami kirim surat dan menyampaikan ada perbedaan angka defisit mereka dengan surplus kita,” jelas dia.

Dan, menurut hitungannya, surplus neraca dagang Indonesia bukan berasal dari produk ekspor yang ada di daftar GSP.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) per 25 Juni lalu, AS merupakan satu dari tiga pasar ekspor nonmigas terbesar Indonesia.

Ekspor nonmigas kita ke AS sepanjang Januari– Mei 2018 tercatat 10,91% dari total ekspor atau US$ 7,43 miliar. Jumlah ini meningkat dibanding periode sama di 2017 sebesar US$ 7,17 miliar.

Peringatan dini

Hanya, menurut Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pemerintah tidak perlu melihat langkah AS yang mengkaji GSP sebagai ancaman perang dagang.

Tapi, lebih sebagai peringatan dini (early warning) agar kita segera berunding, bagaimana meningkatkan volume dan nilai perdagangan yang saling menguntungkan. Meski begitu, “Pemerintah harus menyikapi masalah ini dengan serius,” ujar dia.

Khusus untuk tekstil dan produk tekstil (TPT), Ade mengklaim, sejak 2005 lalu, GSP ke sektor ini sudah tidak ada. Saat ini, ekspor TPT ke AS terkena bea masuk bervariasi, 11%– 30%.

“Vietnam masih dapat GSP sehingga pertumbuhan ekspornya bisa double digit. Kita hanya tumbuh di kisaran 1%, bahkan pernah minus,” bebernya.

Pendapat senada juga datang dari Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Shinta Kamdani. Pemerintah memang harus serius menyikapi keputusan AS mengkaji GSP.

Sebab, ini penting untuk menjaga hubungan perdagangan kedua negara yang saling menguntungkan. “GSP kepada Indonesia menguntungkan semuanya, termasuk pelaku usaha dan konsumen AS,” ucapnya.

Sesuai ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dradjad H. Wibowo, ekonom senior Indef, menuturkan, GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak atau unilateral dari negara maju untuk membantu negara berkembang.

Sejak 1974 silam, AS sudah banyak memberikan fasilitas tersebut. Saat ini, setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang menikmati fasilitas itu.

Selain Indonesia,  negara ASEAN yang mendapatkan keringanan bea masuk adalah Thailand, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.

Saban tahun, USTR mengkaji penerima GSP. Nah, 13 April lalu, mereka mengumumkan akan melakukan kajian atas kelayakan tiga negara mendapat fasilitas itu: Indonesia, India, dan Kazakhstan.

Jadi selama ini, AS sudah berbelaskasihan ke Indonesia. “Sekarang mau ngecek, apakah masih pantas,” kata Drajat.

Kalaupun AS menghentikan fasilitas itu, bukan berarti mereka mengobarkan perang dagang. Dari sisi skala nilai impor pun, Indonesia tidak level jika diajak perang dagang oleh AS.

Drajat menyebutkan, nilai impor Indonesia relatif sangat kecil, hanya US$ 19,6 miliar pada 2015 mengacu data USTR. Artinya, cuma 1/25 ketimbang nilai impor dari China, 1/15 dari impor Kanada dan Meksiko, lebih dari 1/7 impor Jepang. Jadi, “Terlalu kecil,” sebut dia.

Tetap jangan anggap enteng ancaman dari Trump.              ◆

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 16 Juli- 22 Juli  2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Indonesia Diambang Perang Dagang?"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga