Indonesia Diharapkan Belajar dari Thailand Terkait Regulasi Kripto



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Thailand telah mengambil langkah progresif dalam regulasi pajak terkait aset digital dengan menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 7% untuk transaksi perdagangan kripto. Keputusan ini dirancang untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan industri aset digital di negeri Gajah Putih tersebut.

Pembebasan PPN ini ditujukan bagi bursa kripto, pialang, serta platform kripto yang beroperasi di bawah pengawasan ketat dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand. Dengan berlakunya kebijakan ini efektif per 1 Januari 2024, Thailand menunjukkan komitmen kuatnya untuk mengembangkan ekonomi digitalnya.

Langkah ini bukanlah yang pertama, mengingat pada Mei 2023, Thailand telah membebaskan transfer aset kripto dari kewajiban PPN. Kebijakan pembebasan pajak ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak aktivitas dalam pasar aset digital Thailand dan memperkuat posisi negara sebagai pusat inovasi dan perdagangan aset digital di kawasan.


Perbandingan yang mencolok terlihat dengan Indonesia. Pemerintah masih menerapkan PPN sebesar 0,11% dan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,1% untuk transaksi yang dilakukan melalui exchange atau pedagang aset kripto terdaftar.

Baca Juga: Harga Bitcoin Kembali Tembus ke Level US$ 50.000, Simak Sentimennya

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri kripto Indonesia. CEO Tokocrypto Yudhono Rawis menekankan pentingnya Indonesia untuk tidak tertinggal dalam penerapan regulasi yang mendukung pertumbuhan ekosistem kripto. Ia mengusulkan beberapa perubahan penting dalam kebijakan pajak kripto di Indonesia.

Ia berharap Indonesia dapat mengikuti langkah serupa untuk menciptakan regulasi kripto yang lebih ramah dan kompetitif.

"Hal ini diharapkan dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan industri kripto di dalam negeri, sekaligus memberikan kejelasan hukum yang dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pengguna," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (16/2).

Yudho menyarankan agar Indonesia kembali hanya mengenakan pajak atas keuntungan modal (capital gain) dan merevisi aturan PPN. Ini juga mengingat bahwa aset kripto, menurut undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), lebih cenderung diklasifikasikan sebagai aset keuangan atau sekuritas daripada komoditas.

Selain itu, ia juga mengusulkan penurunan besaran pajak yang saat ini berlaku, agar lebih kompetitif dan tidak menghambat perkembangan industri kripto di Indonesia.

Adapun skema capital gain hanya mengenakan pajak pada keuntungan yang diperoleh dari penjualan aset kripto, dan bukan pada setiap transaksi. Menurutnya, pendekatan ini dianggap lebih adil dan efisien karena investor hanya dikenai pajak ketika mereka benar-benar menerima keuntungan ekonomi.

"Hal ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk berinvestasi dalam aset kripto tanpa khawatir tentang beban pajak yang berat untuk setiap transaksi yang dilakukan," paparnya yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).

Baca Juga: Bitcoin Meroket ke US$50.000, Beri Peluang Investasi Berisiko Tinggi

Yudho menjelaskan, skema tersebut dapat memudahkan pelaporan pajak bagi investor karena mereka hanya perlu melaporkan transaksi yang menghasilkan keuntungan. Diharapkan dengan penerapan skema pajak seperti ini akan mampu meningkatkan transparansi dan kepatuhan pajak di sektor kripto.

"Dengan langkah-langkah regulasi yang tepat, kripto dapat menjadi salah satu pendorong utama ekonomi digital Indonesia, membuka peluang baru dan meningkatkan inklusi finansial di seluruh wilayah," pungkas Yudho.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi