JAKARTA. Gempa berkekuatan M 7,8 mengguncang Ekuador pada Minggu (18/4). Pusat gempa berada di subduksi lautan namun berdekatan dengan daratan, pada kedalaman 19,2 kilometer. Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, mengatakan, gempa yang sejauh ini menelan 77 korban tewas dan sekitar 500 luka-luka itu adalah pelajaran bagi Indonesia. "Kita seolah dikepung generator gempa bumi dari berbagai arah," kata Daryono kepada Kompas.com kemarin. "Dibanding Ekuador ancaman gempa bumi subduksi lempeng lebih besar dialami negara kita."
Subduksi yang merupakan pertemuan dua lempeng dijumpai di sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Nusantara, dan utara Sulawesi. Praktis, wilayah sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi menghadapi ancaman gempa bumi akibat subduksi lempeng aktif. Gempa dahsyat akibat aktivitas di zona subduksi antara lain adalah gempa Aceh berkekuatan M 9,1 pada tahun 2004. Gempa itu mengakibatkan tsunami yang menelan korban 230.000 orang dari 14 negara. Sementara itu, studi tim Institut Teknologi Bandung (ITB), BMKG, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap bahwa tsunami pun pernah terjadi berulang di selatan Jawa. Ancaman gempa di zona subduksi yang merusak pada masa depan bisa terjadi di wilayah Mentawai. Para ahli gempa memprediksi, kekuatan gempa di wilayah tersebut bisa mencapai M 9. Temuan tim ITB, BMKG, dan LIPI mengonfirmasi potensi gempa selatan Jawa. Studi Rahma Hanifa pada tahun 2012 dari pergerakan GPS memperkirakan, potensi gempa di selatan Jawa bisa berkekuatan M 8,2 dan M 8,8. Daryono mengatakan, gempa Ekuador memberi pelajaran akan pentingnya terus meningkatkan pemahaman masyarakat akan risiko bencana. Setiap gempa memberikan pelajaran tersendiri. Selain gempa Ekuador, gempa Jepang berkekuatan M 6,4 dan 7 yang terjadi pada Kamis (14/4/2016) dan Sabtu (16/4/2016) pun menyimpan pelajaran. Gempa akibat gerak sesar mendatar di daratan itu mengingatkan Indonesia pada gempa Yogyakarta berkuatan M 6,2 pada tahun 2006. Guncangan gempa yang berlangsung selama 57 detik itu merubuhkan bangunan, menewaskan lebih dari 5.000 orang. Pakar gempa dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, gempa Jepang memberi pelajaran agar Indonesia serius memetakan dengan rinci sumber-sumber gempa.
"Audit infrastruktur dan bangunan tahan gempa juga harus dilakukan. Sejauh ini kita belum menerapkan standar bangunan tahan gempa dengan baik. Rumah-rumah yang telanjur dibangun tanpa memperhitungkan aspek gempa harus diperkuat," katanya seperti dikutip Kompas, Senin (18/4). Semetara itu, pakar gempa ITB, Irwan Meilano, mengatakan, gempa Jepang mengingatkan untuk selalu waspada pada sumber-sumber gempa daratan. Ia juga mengatakan, di tengah maraknya pembangunan, sistem peringatan dini bencana perlu diperhatikan. "Selama ini pembangunan kita belum memperhatikan aspek bencana," ungkapnya. (Yunanto Wiji Utomo) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie