KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga riset ekonomi Bright Institute menilai Indonesia kedepannya akan semakin bergantung dengan China dari segi perdagangan, investasi hingga utang. Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky melihat posisi Indonesia bagi China justru dianggap cukup penting namun tidak terlalu signifikan untuk menjadi penentu kondisi perekonomian mereka. Dari sisi risiko, Indonesia memiliki risiko lebih tinggi karena China merupakan mitra ekonomi yang terpenting dengan porsi yang sangat besar. "Sedangkan bagi China, Indonesia hanya cukup penting, namun tidak akan menentukan kondisi perekonomiannya, ungkap Awlil pada keterangan resmi, yang dikutip Minggu (24/11).
Awalil menjelaskan dari sisi perdagangan, China merupakan negara tujuan ekspor tertinggi yang porsinya mencapai 25,09 persen dari seluruh total ekspor di tahun 2023. Porsi ini jauh lebih tinggi dari negara di posisi kedua yakni Amerika Serikat yang hanya 8,98 persen dari seluruh ekspor Indonesia. Di sisi lain, Indonesia meskipun paling banyak mengimpor dari China, yakni sebesar 28,34 persen dari seluruh total impor, RI hanya berkontribusi tak lebih dari 3,2 persen bagi seluruh impor China.
Baca Juga: BI Tahan Suku Bunga, CNAF Sebut Ini Baik untuk Perusahaan Pembiayaan "Dan kalau kita lihat dari karakteristik barang yang diekspor, hampir seluruh barang yang Indonesia ekspor ke China adalah barang yang tak terbarukan seperti feronikel dan batubara," ujarnya. Sedangkan barang yang diekspor dari China sangat beragam dan terdiversifikasi, dari smartphone hingga bawang putih. Jadi ekspor oleh China jauh lebih sustainable karena China bisa mengekspor hampir seluruh kebutuhan Indonesia, dan jumlahnya terus meningkat. Inilah yang membuat secara risiko, kedepannya Indonesia akan semakin bergantung dengan China namun China tidak akan terlalu membutuhkan Indonesia. Selain itu, terpakunya ekspor Indonesia pada komoditas hasil tambang tersebut membuat surplus atau defisitnya neraca perdagangan Indonesia terhadap China menjadi sangat bergantung pada kondisi harga komoditas global dibandingkan kapasitas produksi Indonesia. “Jika harga komoditas turun 10% saja, maka surplus bisa langsung berubah menjadi defisit,” ucapnya. Semntara itu investasi China selama ini memiliki karakteristik berbeda dengan investasi dari negara lain, baik itu dalam transparansi proyek kerja sama terhadap publik sampai keperluan tenaga kerja asing (TKA). Banyaknya keperluan TKA ini menurut Awalil sebenarnya bisa dijelaskan dari kebutuhan China sendiri yang juga ingin mengurangi tingkat pengangguran di negaranya. Awalil juga menilai utang Indonesia ke China juga akan semakin bertambah pesat sebagaimana melanjutkan tren yang berlangsung selama pemerintahan Jokowi. ULN (Utang Luar Negeri) dari China ini hampir seluruhnya adalah ULN kepada swasta, yakni sekitar 94%. Hanya "Jadi mayoritas berbentuk B2B (business to business), nilainya tumbuh pesat dari US$6,88 miliar di 2014 menjadi US$ 21,14 miliar per September 2024," jelas Awalil.
Baca Juga: Beragam Kebijakan Pajak Pemerintah Beri Dampak Buruk untuk Perekonomian Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati