Indonesia Diprediksi Masih Dalam Siklus Pemulihan Ekonomi di Semester II-2022



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyebut Indonesia masih berada dalam siklus pemulihan ekonomi pada semester II-2022 ini. Berbeda dengan negara maju yang ekonominya cenderung dalam tahap normalisasi.

Chief Economist & Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan mengatakan, indikator ekonomi Indonesia menunjukkan potensi penguatan lebih lanjut. Risiko resesi di Indonesia juga berkurang karena kondisi fiskal serta perekonomian Indonesia terjaga baik. Hal ini berbeda dengan kebanyakan negara.

Penguatan ekonomi Indonesia tersebut terlihat antara lain dari kontribusi konsumsi domestik yang besar, keyakinan konsumen dan penjualan ritel, angka pengangguran yang menurun, serta pertumbuhan kredit yang terus meningkat hingga mencapai 10,3% di bulan Juni 2022.


Menurut Katarina, meskipun inflasi meningkat, namun upaya pemerintah untuk menjaga beberapa harga barang (price control) membuat inflasi inti tetap terjaga.

"Sehingga, tekanan inflasi belum berdampak luas. Keputusan pemerintah untuk mempertahankan harga BBM bersubsidi dapat membuat inflasi inti tahun 2022 tetap terjaga di kisaran rentang target BI 2% - 4%," ujar Katarina dalam Indonesia Market Outlook 2H- 2022: Approaching the Tipping Points, Selasa (9/8).

Baca Juga: Kondisi Global dalam Ketidakpastian, Ini Risiko yang Harus Diwaspadai RI

Neraca perdagangan Indonesia juga masih relatif kuat. Namun, tidak tertutup kemungkinan ke depannya akan sedikit terkoreksi akibat normalisasi harga komoditas, potensi penurunan permintaan eksternal, dan potensi peningkatan impor sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik.

Sebagai net importir minyak dan net ekportir komoditas, maka pergerakan harga minyak relatif terhadap pergerakan harga komoditas utama ekspor dapat mempengaruhi perkembangan neraca perdagangan ke depannya.

Dari sisi pasar keuangan, MAMI memperkirakan, volatilitas pasar ke depan akan membaik karena banyak negara dan kawasan sudah mulai mendekati titik puncak dari segi inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta kebijakan moneter.

Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI Ezra Nazula mengatakan, volatilitas pasar finansial global di paruh pertama 2022 melonjak akibat tiga hal. Yakni, inflasi yang secara terus-menerus berada pada level tinggi, kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, dan outlook pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2022 dan 2023 yang direvisi turun.

"Memasuki paruh kedua, pasar telah memperhitungkan dan merevisi ekspektasinya terhadap outlook ekonomi dan kebijakan moneter,” ujar Ezra.

Ezra menyebutkan, dalam rapat FOMC (The Federal Open Market Committee) terakhir, The Fed menegaskan prioritasnya untuk menangani inflasi dan mengindikasikan bahwa suku bunga acuan sudah berada di level netral.

"Yaitu berada di kisaran 2,25% - 2,5%, serta arah pergerakan ke depan akan disesuaikan dengan perkembangan data ekonomi," ucapnya.

Ezra mengatakan ekspektasi pasar mengindikasikan bahwa The Fed sudah mendekati puncak siklus kenaikan suku bunga, sehingga besaran kenaikan ke depan akan lebih dovish.

Di sisi lain, pertumbuhan uang beredar Amerika Serikat (AS) telah kembali ke level normal. Ini merupakan pertanda bahwa pengetatan moneter sudah mulai membuahkan hasil dan diharapkan dapat menahan laju inflasi.

Menurut Ezra, The Fed telah menegaskan bahwa prioritas utama saat ini masih tetap pada penanganan inflasi.

“Positifnya, beberapa faktor pendorong utama inflasi, terutama dari sisi pasokan, telah mulai mereda. Contohnya, harga minyak yang merupakan salah satu faktor pendorong utama terjadinya inflasi di Amerika Serikat sudah turun 23% dari level tertingginya di US$ 127/bbl," tuturnya.

Selain itu, tekanan rantai pasokan global mulai membaik pasca normalisasi aktivitas China, dan harga gandum juga sudah turun hingga 38% dari titik tertingginya di bulan Maret 2022.

Berbicara mengenai pasar di Asia, Ezra mengatakan, Asia diuntungkan dengan pembukaan kembali ekonomi.

“Di tengah ancaman perlambatan ekonomi global, Asia diuntungkan oleh pelonggaran restriksi aktivitas dan pembukaan kembali perjalanan internasional yang mendukung aktivitas ekonomi dan mengimbangi dampak dari perlambatan eksternal," ujarnya.

Menurut Ezra, lonjakan Inflasi akan menjadi perhatian bank sentral di Kawasan Asia. Namun, dengan titik awal yang relatif rendah dan topangan fiskal untuk menjaga harga barang-barang tertentu, bank sentral dapat tetap menjaga momentum pertumbuhan dan tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga.

"Sama halnya dengan pasar global, sentimen pada pasar Asia diperkirakan membaik apabila tingkat inflasi global sudah mulai mereda secara konsisten dan sinyal siklus kenaikan Fed funds rate sudah mendekati puncak,” jelasnya.

Baca Juga: Pemulihan Ekonomi RI Terus Berlanjut di Tengah Ketidakpastian Global

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat