Indonesia diramal masuk 6 negara ekonomi terbesar, Ekonom: Konsumsi jadi penopangnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memprediksikan Indonsia akan menduduki peringkat ke enam negara dengan ekonomi terbesar dalam kategori produk domestik bruto (PDB) berdasarkan parotas daya beli (PPP) pada tahun 2023. 

Dalam empat tahun mendatang, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,4% dengan pangsa pasar 2,8%. Serta PDB per kapita mencapai US$ 5.120 per kapita.

Indonesia naik peringkat dari tahun 2000 sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi di level 13, kemudian naik pada tahun 2015 di posisi ke tujuh. Pada tahun 2023 posisi ini mengalahkan Rusia, Brazil, Inggris dan Prancis.


Berdasarkan data tersebut, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi tersebut masih dari sektor konsumsi rumah tangga.

"Postur PDB dalam kurun waktu 10 tahun terakhir hampir tidak mengalami perubahan," jelas Ekonom Indef Bhima Yudhistira saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (22/2).

Sepanjang 10 tahun, jelas Bhima, sebesar 55,7% dari total PDB masih disumbang dar konsumsi rumah tangga. Data terakhir yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan porsi konsumsi rumah tangga mencapai 53% pada tahun 2018. Artinya permintaan domestik masih mendominasi.

Faktor lain adalah kinerja ekspor. Kinerja ekspor bisa menjadi motor pertumbuhan yang menjanjikan. Asal didorong insentif dan infrastruktur yang memadai.

"Meskipun mengalami perlambatan namun porsi ekspor sejak 2016-2018 cenderung meningkat menjadi 20,9% dari sebelumnya 19%," ujar Bhima.

Untuk itu tulang punggung ekonomi yakni sektor industri manufaktur perlu diperkuat. Share manufaktur terhadap PDB perlu didorong ke level 25%-29%. Guna mendorong industri manufaktur, perlu kesiapan infrastruktur di kawasan industri, insentif fiskal yang tepat sasaran dan perizinan termasuk birokrasi hingga ke level daerah yang efisien.

"Manufaktur yang maju akan menarik sektor primer seperti pertanian dan produsen bahan baku lainnya, sehingga serapan tenaga kerja lebih berkualitas," jelas Bhima.

Kendati demikian, pemerintah tetap harus waspada terhadap situasi global. Utamanya tren proteksionisme di negara maju, tidak hanya Amerika Serikat (AS) tapi juga Eropa alias Brexit. Kondisi ini mempengaruhi kinerja ekspor ke negara tujuan tradisional.

Di sisi lain, perlu perhatian dengan adanya efek perang dagang sudah menyebabkan perlambatan ekonomi global. Sementara normalisasi moneter global masih menghantui. The Fed bisa sewaktu-waktu menaikan kembali suku bunga acuan dan memberikan tekanan pada likuditas global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi