KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia resmi menjadi anggota penuh aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani memandang keanggotaan penuh Indonesia dalam BRICS sebagai peluang strategis untuk mendiversifikasi mitra dagang dan investasi di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah. Sebagai kelompok ekonomi multipolar, BRICS memungkinkan Indonesia memperkuat kerja sama dengan negara-negara seperti Tiongkok, India, dan UEA, yang merupakan pasar potensial.
"Keanggotaan ini juga dapat memperkuat posisi Indonesia di pasar non-tradisional seperti di Afrika dan timur tengah," ujar Shinta saat dikonfirmasi, Rabu (8/1). Namun, Apindo juga melihat bahwa BRICS lebih banyak berorientasi pada isu geopolitik dibandingkan pada harmonisasi kebijakan ekonomi yang konkret.
Baca Juga: Dana Asing Masih Lari dari Pasar Saham, Dampak Indonesia Gabung BRICS? Keanggotaan BRICS tidak menuntut indonesia untuk mengadopsi kesepakatan internasional yang mengikat yang akan merubah kebijakan sosio ekonomi dalam negeri. Juga memang tidak memberikan manfaat langsung bagi sektor usaha melalui akses pasar baru tarif dan lainnya. "Walaupun dampak langsung secara ekonomi mungkin tidak terlihat terhadap sektor usaha kita tetap perlu memanfaatkan peluang di dalam BRICS," ucap Shinta. Apindo menilai beberapa potensi yang bisa dijajaki antara lain peluang diversifikasi dengan anggota baru BRICS. Diantaranya UEA dan Ethiopia yang dapat dimanfaatkan pelaku usaha Indonesia khususnya di sektor manufaktur, agrikultur, dan energi. Alternatif pembiayaan proyek melalui BRICS New Development Bank (NDB). Sektor usaha dapat mengakses pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan energi terbarukan, yang selama ini mungkin terkendala oleh sumber pendanaan tradisional. Pelaku usaha dapat memanfaatkan keunggulan teknologi dari anggota BRICS seperti Tiongkok dan Rusia untuk mendukung transformasi industri domestik. "Namun, kami juga menyadari adanya tantangan, termasuk potensi retaliasi dagang dari negara-negara non-BRICS atau risiko ketergantungan pada mitra tertentu, seperti Tiongkok. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu merencanakan strategi mitigasi risiko dengan baik," jelas Shinta. Lebih lanjut, Shinta mengatakan, sentimen negatif AS terhadap dedolarisasi BRICS merupakan isu yang kompleks. Akan tetapi perlu diingat bahwa posisi Indonesia dalam perdagangan global tetap mengedepankan prinsip bebas aktif. Keanggotaan di BRICS tidak berarti Indonesia akan menggantikan mitra dagang seperti AS, tetapi lebih kepada diversifikasi mitra untuk mengurangi risiko ketergantungan pada pasar tertentu. Mengenai ekspor dan impor dengan AS, dunia usaha melihat beberapa skenario. Diantaranya potensi retaliasi dagang. Jika sentimen negatif AS meningkat, hambatan perdagangan seperti tarif tambahan atau regulasi non-tarif bisa saja muncul.
Baca Juga: Gabung BRICS, Indonesia Perlu Dorong Kerja Sama Green Invesment Namun, hal ini sangat bergantung pada dinamika politik dan ekonomi kedua negara. Lalu, pengelolaan risiko valas. Dengan adanya inisiatif dedolarisasi BRICS, perusahaan Indonesia yang berorientasi ekspor ke AS perlu lebih berhati-hati dalam manajemen risiko valuta asing untuk menjaga daya saing harga. Berikutnya, peluang memperluas diversifikasi. Di sisi lain, diversifikasi pasar melalui BRICS dapat memberikan alternatif bagi pelaku usaha jika hambatan perdagangan dengan AS meningkat.
"Apindo percaya bahwa pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk memastikan kepentingan nasional tetap terlindungi, baik dalam hubungan dengan AS maupun dalam pengelolaan peluang dari BRICS," imbuh Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat