KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia menyampaikan keinginannya untuk bergabung dalam BRICS dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Rusia (24/10). Dengan pengumuman tersebut, proses Indonesia untuk bergabung menjadi anggota BRICS telah dimulai. BRICS adalah aliansi yang beranggotakan 5 negara besar yakni Brasil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro mengatakan, Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif. Sehingga mestinya tidak memasuki dalam satu blok.
Namun, menurutnya, BRICS semakin kesini, semakin menguntungkan anggotanya. Terlebih dengan adanya 40 negara yang dikabarkan berminat masuk ke BRICS. Toto menilai, dengan menjadi anggota BRICS akan dapat meningkatkan kerja sama perdagangan diantara negara-negara anggota BRICS. Dengan begitu, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, perekonomian, membuka lapangan kerja, dan hal lainnya. Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu memberi pemahaman kepada masyarakat terkait rencana dan manfaat apabila menjadi anggota BRICS. “Jadi kalau menurut saya sah-sah saja sepanjang betul-betul para menteri kita mempertimbangkan, memperhitungkan manfaat dan kerugiannya untuk bangsa ini,” ujar Toto saat dihubungi Kontan, Senin (28/10).
Baca Juga: Indonesia Bergabung dengan BRICS, Ekonom: Akan Makin Ketergantungan dengan China Dikonfirmasi secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai, Indonesia bagus jika bergabung dengan BRICS agar Indonesia tidak didominasi negara-negara OECD. Indonesia juga bisa menjaga jarak yang sama antara negara-negara yang tergabung dengan OECD dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS. “Terpenting adalah kepentingan nasional kita diuntungkan dan tidak sebaliknya dirugikan,” ujar Hikmahanto. Menurutnya, pemerintah Indonesia mungkin melihat OECD sudah tidak sekuat di masa lalu. Karenanya Indonesia perlu masuk ke BRICS yang kekuatan pasarnya sangat luar biasa dan mampu menjadi penyeimbang OECD. Belum lagi Indonesia menjadi importir besar BBM yang disuling. Hikmahanto mengatakan, Amerika Serikat (AS) tidak membolehkan Indonesia untuk beli dari Rusia karena serangan Rusia ke Ukraina. Padahal Rusia karena diembargo oleh negara-negara OECD tidak punya pembeli dan bersedia untuk menjual dengan murah. “Kalau kita di BRICS kendala seperti ini akan tidak ada. Belum lagi dunia saat ini kan punya ketergantungan pada dolar AS. Sementara BRICS akan memperkenalkan mata uang di luar dolar AS,” kata Hikmahanto. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Sugiono mengajukan beberapa langkah konkret untuk memperkuat kerja sama BRICS dan Global South. Pertama, menegakkan hak atas pembangunan berkelanjutan, dimana negara-negara berkembang membutuhkan ruang kebijakan, sementara negara maju harus memenuhi komitmen mereka. Kedua, mendukung reformasi sistem multilateral agar lebih inklusif, representatif, dan sesuai dengan realitas saat ini. Institusi internasional harus diperkuat dan memiliki sumber daya yang memadai untuk memenuhi mandatnya.
Baca Juga: BRICS Menyiapkan Alternatif Mata Uang Penantang Dollar AS Terakhir adalah menjadi kekuatan untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara Global South. BRICS dirasa dapat berfungsi sebagai perekat untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara berkembang. “Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” ujar Sugiono. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat