Indonesia masih berat kejar peringkat ke-40 EODB



JAKARTA. Berbagai upaya penyederhanaan regulasi dilakukan pemerintah untuk mendongkrak peringkat EODB (Ease Of Doing Business). Pada tahun 2016 lalu, peringkat EODB Indonesia sempat naik 5 peringkat dari 106 ke posisi 91. Tahun 2018 mendatang, pemerintah menargetkan peringkat 40 dunia.

Ekonom asal Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan target peringkat 40 besar di EODB masih berat bagi pemerintah Indonesia. Meski, Indonesia sudah melakukan banyak reformasi, terutama soal perizinan, hal tersebut dinilai belum cukup.

"Negara lain juga melakukan reformasi kebijakan, contohnya seperti India. Jadi harus ada extra usaha dari pemerintah kita," ungkap Bhima, Minggu (14/5).


Ia menilai persoalan peringkat EODB ini hanya terukur di Jakarta dan Surabaya. Sementara untuk kemudahan berbisnis, idealnya harus diterapkan juga di daerah lain.

"Sementara saya kira lebih baik ada langkah terukur untuk akselerasi percepatan izin, dan sebagainya di daerah-daerah. Jadi meskipun tahun ini berhasil masuk 80 besar, tidak masalah, yang penting kualitas kemudahan berbisnis merata di daerah," terang Bhima.

Melihat hasil EODB 2016, Bhima mengutarakan masih ada beberapa komponen yang harus fokus diperbaiki oleh pemerintah. Pertama, soal biaya perizinan yang tercatat masih tinggi. Biaya tersebut setara 19.4% pendapatan per kapita, sedangkan di Malaysia hanya 6.2%, dan di Thailand 6.6%.

Kedua, berkaitan tentang izin konstruksi di Indonesia. "Izin konstruksi rata-rata 200 hari. Hal ini perlu dipangkas," ujarnya.

Ketiga, soal penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia yang memakan waktu sekitar 471 hari. "Pemerintah sebenarnya sudah menuangkan solusi dalam paket kebijakan tinggal evaluasi dan monitoring pelaksanaannya saja," tuturnya.

Dan yang terakhir soal kemudahan membayar pajak. Selain prosedur, tarif pajak masih kurang kompetitif dibanding negara ASEAN lainnya.

Sementara itu, Ekonom Indef lainnya, Eko Listyanto mengungkapkan, untuk mencapai peringkat 40 besar, pemerintah perlu menyusun strategi secara paralel, diiringi perbaikan akses energi, terutama listrik bagi industri, efisiensi layanan birokrasi, serta kemudahan akses kredit bagi sektor riil terutama industri pengolahan dan industri orientasi ekspor.

"Sekadar benchmark, saat ini negara tetangga Malaysia di peringkat 23 dan Thailand 46. Dari sisi infrastruktur, kedua negara ini sudah mencukupi sehingga berbisnis menjadi mudah di sana," ungkapnya.

Eko berpendapat, untuk bisa masuk peringkat 40 besar, dengan wilayah yang sangat luas, maka indikator-indikator EODB tersebut harus setara antara kota-kota destinasi investasi utama di Indonesia.

"Sekarang untuk dwelling time saja masih bervariasi antar pelabuhan. Jadi masih perlu kerja keras untuk bisa ke 40 besar," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto