Indonesia masih surplus LNG hingga 2024



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah pernah memproyeksi Indonesia akan mulai mengimpor LNG pada tahun 2019-2020 menyusul kebutuhan LNG yang meningkat dan sejumlah proyek gas yang belum berproduksi. Namun proyeksi pemerintah ini ternyata salah.

Edi Saputra, Analis Senior Gas and Power Lead Asia Wood Mackenzie mengatakan kebutuhan LNG domestik saat ini belum menunjukkan kenaikan yang signifikan. Pada tahun lalu, kebutuhan LNG domestik hanya mencapai 2,4 juta metrik ton per tahun (mtpa) atau turun sekitar 15% dari tahun 2016 yang mencapai 2,8 juta mtpa.

Pada tahun ini diproyeksi kebutuhan LNG domestik hanya mencapai 2,8 juta mtpa. Kenaikan kebutuhan LNG domestik tersebut ditopang oleh kebutuhan pembangkit listrik PLN.


"Ada beberapa pembangkit listrik mulai jalan terutama tambahan unit di pembangkit PLN. Kami harapkan naik lagi,"kata Edy di sela acara Executive Committee Meeting Gas Indonesia Summit & Exhibition (GIS) 2018 Jumat (16/3).

Tapi, permintaan LNG dari pasar domestik tetap tidak mampu menyerap seluruh LNG yang akan diproduksi pada tahun ini. 

Edi bilang saat ini Indonesia diproyeksi bisa memproduksi LNG pada tahun ini berkisar 18,5 juta mtpa yang berasal dari Bontang sekitar 9 juta mtpa, dari Tangguh mencapai 7 juta mtpa, dan dari Donggi Senoro sebesar 2,5 juta mtpa.

Dari seluruh produksi LNG tersebut yang telah memiliki kontrak untuk pasar ekspor khususnya Asia Timur mencapai 12,5 juta mtpa. Sementara kebutuhan pasar domestik hanya 2,8 juta mtpa.

Maka ada surplus LNG sebesar 3 juta-4 juta mtpa pada tahun ini. Edi bahkan memproyeksi Indonesia masih bisa surplus LNG hingga 2024.

"Dengan memperhitungkan kontrak Pertamina yang ada dengan Cheniere, Total, Woodside, kami lihat gap-nya baru muncul di 2025. Gap itu untuk kebutuhan impor, 2024 masih ada, jadi memang ada surplus sampai 2024," jelas Edi.

Selain kebutuhan LNG domestik yang belum meningkat, surplus LNG juga disebabkan ada pembatasan ekspor LNG oleh pemerintah. 

Saat ini pemerintah tidak lagi memperpanjang kontrak LNG jangka panjang ke Korea Selatan dan Jepang.

"Tahun lalu ada beberapa kontrak eskpor yang berhenti dan pemerintah menolak memperpanjang akibatnya ada kelebihan pasokan,"kata Edi.

Padahal menurut Edi, pemerintah tidak perlu khawatir melakukan ekspor LNG karena pasokan LNG masih surplus hingga saat ini. Ditambah lagi dengan adanya impor LNG Pertamina.

"Jadi ada beberapa langkah yang diambil, pertama tidak perlu khawatir ekspor gas karena kami perkirakan ada surplus. Kedua, Indonesia sudah tandatangan kontrak impor 2019 kedepan dari Cheniere, Total, lalu Woodside dengan adanya impor dan permintaan domestik rendah maka harus fleksibel tidak perlu khawatir ekspor harus ada perubahan mindset untuk maintance balance ke pasar, harus mau berani ambil langkah itu, lalu mendukung konsumsi gas di Indonesia itu bisa dilakukan,"jelas Edi.

Apalagi ada potensi peningkatan permintaan LNG dari China . Begitu juga dari wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.

"Pertumbuhan permintaan di masa mendatang datang ada dari China. Tahun lalu permintaan dari China naik 15%, ada juga dari Asia Selatan seperti Pakistan, Bangladesh, India, ada singapura Thailand Vietnam, "imbuh Edi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi