KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia terus memacu pengembangan ekonomi berkelanjutan. Sebagai tuan rumah KTT G20 tahun 2022, Pemerintah Indonesia mengajak dan mendorong negara anggota G20 mempercepat transisi energi dalam rangka pengembangan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu keterlibatan semua pihak, termasuk kalangan dunia usaha untuk mewujudkan perekonomian yang ramah lingkungan dan berpihak pada kelangsungan generasi masa depan. Sebenarnya konsep ekonomi biru, hijau dan sirkular bukanlah hal baru. Namun dunia baru tersadar akhir-akhir ini akan pentingnya melakukan transformasi dalam pendekatan ekonomi global sehingga menjadi berkelanjutan. Indonesia sudah mulai menerapkan ketiga pendekatan ekonomi tersebut. Ekonomi biru, hijau dan sirkular memiliki potensi dan keuntungan besar untuk pembangunan ekonomi global secara berkelanjutan. Implementasinya dapat menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru, mengurangi sampah dari berbagai sektor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Isu-isu lingkungan seperti polusi karbon, degradasi laut dan tanah, hingga sampah plastik mendorong urgensi penerapan pendekatan ekonomi yang berkelanjutan," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sambutan secara virtual pada Side Event Pertemuan Sherpa ke-2 Presidensi G20 Indonesia, yang dilaksanakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Rabu (13/7). Deputi Menteri Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti memaparkan, konsep ekonomi biru, hijau dan sirkular telah diterapkan dalam Visi Indonesia 2045 di prioritas nomor 1 dan 6. Ekonomi biru selanjutnya telah dibawa dalam pembahasan di Development Working Group dan agenda di ASEAN. Sementara itu, Deputi Bidang Kebijakan Riset dan Inovasi BRIN, Boediastoeti Ontowirjo menambahkan, BRIN telah berkolaborasi dengan sektor swasta untuk mengembangkan model ekonomi hijau dan sirkular, seperti contoh dalam pengolahan limbah cair kelapa sawit menjadi biogas sumber listrik di Riau. Ada tiga catatan yang dapat disimpulkan dari kegiatan seminar “Blue, Green, and Circular Economy: The Future Platform for Post-Pandemic Development”. Pertama, pergeseran ke arah ekonomi biru, hijau, dan sirkular harus ditempuh karena adanya peluang dan manfaat yang bisa dipetik. Kedua, Indonesia telah berkontribusi dalam merealisasikan wacana global bertransisi ke model ekonomi berkelanjutan melalui berbagai program dan aksi nyata di Forum G20. Ketiga, forum G20 dapat memfasilitasi dialog, saling berbagi pengetahuan, teknologi serta best practices dalam ekonomi berkelanjutan. Dalam
closing remark-nya, Co-Sherpa G20 Indonesia (Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian) Edi Prio Pambudi berharap, dari seminar di Labuan Bajo, kita akan dapat membangkitkan semangat dan kesadaran baru bagi para peserta untuk menjadikan kolaborasi ekonomi hijau, biru, dan sirkular sebagai konsep terpadu di dalam forum G20. Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Koordinator Bidang Maritim, Investasi dan Luar Negeri, Shinta W Kamdani mengemukakan, Kadin Indonesia melalui B20 secara serius mendukung upaya percepatan transisi hijau. Delegasi Indonesia menjadikan isu tersebut sebagai salah satu fokus utama rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada para pimpinan negara G20 dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang mendukung percepatan transisi hijau oleh pelaku usaha. “Pasalnya, untuk menciptakan
green economy dalam skala yang
impactful terhadap perubahan ikllim, pelaku usaha perlu terlibat aktif dalam pencapaian NDC dan hal ini tidak akan bisa kami lakukan tanpa dukungan kebijakan dan ekosistem usaha yg mendukung,” jelas dia kepada Kontan.co.id, Rabu (13/7). Oleh karena itu, Shinta mengungkapkan, Kadin Indonesia saat ini fokus menciptakan ekosistem tersebut di Indonesia dan dunia melalui KTT G20. Khususnya untuk memastikan bahwa ekosistem green economy realistis dan relevan dengan kebutuhan dan kenyataan yang dihadapi para pelaku usaha negara-negara berkembang. Selain rekomendasi kebijakan, Kadin Indonesia melalui B20 juga membuat inisiatif untuk membangun kesadaran, mengajak dan mengasistensi para pelaku usaha Indonesia dan pelaku usaha negara G20 untuk mencapai
net zero emission dalam jangka panjang. “Beberapa inisiatifnya antara lain mencakup pembentukan B20
center of excellence in carbon trade dan upaya pembentukan
global blended finance alliance untuk pendanaan pencapaian SDGs, termasuk
green transition,” terang Shinta. Kadin Indonesia berharap, dengan inisiatif ini akan ada kerja sama yang lebih
sustainable antara negara maju dan negara berkembang dalam membantu negara berkembang seperti Indonesia untuk mencapai
nationally determined contribution (NDC) bahkan
net zero emission dalam jangka panjang. Sejalan dengan ini, Kadin Indonesia juga membentuk Net Zero Hub yang merupakan inisiatif Kadin untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan di Indonesia termasuk kalangan UMKM untuk mencapai
net zero emission. Shinta bilang, Net Zero Hub (NH) bisa menjadi
showcase dari Indonesia di B20 terkait komitmen percepatan
green transformation. “NZH juga akan menjadi instrumen B20 Indonesia ke depannya untuk mengimplementasikan apa yang kami rekomendasikan kepada pimpinan G20 dan Pemerintah Indonesia dalam hal penciptaan
green economy ecosystem di
scope nasional,” kata dia. Kadin Indonesia menargetkan sebanyak 100 perusahaan menandatangani nota kesepahaman (MoU)
net zero emission pada November 2022 mendatang. Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono menjelaskan, pengembangan ekonomi hijau seiring transisi energi harus diiringi pengendalian aktivitas bisnis yang berbasis pada eksploitasi sumber daya alam. Di sisi lain, juga diperlukan proses produksi seperti pengelolaan limbah yang lebih baik. “Hal lain yang dicermati ialah pengelolaan limbah pangan. Indonesia menjadi salah satu negara yang mencatatkan limbah pangan yang tinggi, sehingga makanan terbuang begitu saja. Kami mengharapkan penggunaan bahan pangan harus hemat. Kebiasaan mengelola makanan ini perlu dikampanyekan,” terang dia. Sejatinya, Iwantono mengatakan, Apindo mendukung poin-poin yang disampaikan pemerintah dalam G20 karena hal tersebut sudah dibicarakan bersama dengan
stakeholders. “Harapan kami, dari sisi kepemimpinan dalam G20 karena sangat strategis, bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin posisi Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional, baik dari sisi ekonomi maupun sosial,” ujar dia. Dalam sisi ekonomi, Apindo berharap pelaku usaha bisa mendapatkan akses pasar yang memadai ke negara anggota G20 lainnya, baik dari sisi ekspor produk maupun importasi bahan baku. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menambahkan, saat ini yang paling krusial dalam isu transisi energi adalah pendanaan untuk lingkungan. Bhima menerangkan, kebutuhan untuk memitigasi perubahan iklim khusus di Indonesia saja membutuhkan Rp 4.000 triliun. Menurut dia, pendanaan ini bisa terwujud melalui kerja sama dengan negara-negara G20 misalnya dalam skema pembentukan
global green financing. Jadi ada anggaran yang disisihkan terutama dari negara maju kepada negara berkembang untuk memitigasi perubahan iklim. Selain itu, Bhima mencermati kerja sama investasi dan pendanaan untuk energi terbarukan. Dia melihat bahwa saat ini penggunaan energi terbarukan masih rendah, padahal masalah utama dan besar dalam memitigasi perubahan iklim ada di sektor transportasi dan energi. Di sisi lain, langkah untuk beralih ke energi terbarukan membutuhkan dana yang sangat besar. Bhima bilang, perusahaan di Indonesia yang memiliki standar ESG bisa mendapatkan fasilitas keringanan bea masuk untuk memasarkan produknya ke negara G20, begitu pula sebaliknya. “Sekarang ini ada insentif fiskal langsung yang dirasakan. Dengan ini, perusahaan saling berlomba-lomba menaati ESG standard sebagai syarat pendanaan, ekspor lebih kompetitif ke negara G20. Itu yang belum sampai ke sana,” ungkapdia kepada Kontan.co.id, Kamis (14/7). Kerja sama lain mengenai lingkungan yang belum banyak didorong ialah terkait mekanisme perdagangan karbon. Bhima menjelaskan, dalam membentuk mekanisme perdagangan karbon dan pajak karbon dibutuhkan asistensi dan dukungan dari negara G20 lainnya sehingga ada standardisasi yang tidak hanya di satu negara saja, tetapi juga lintas batas di negara G20 lainnya. Dengan demikian, hal tersebut dapat mendorong perusahaan yang mau memanfaatkan perdagangan karbon mendapatkan sumber pendanaan baru dari negara maju lainnya.
Tantangan yang saat ini dihadapi ialah rencana phase out financing ke bahan bakar fosil, terutama batubara dan minyak bumi. Artinya, komitmen negara G20 mengenai perubahan iklim dibarengi dengan pengurangan pembiayaan ke sektor yang berkontribusi pada emisi karbon. Bhima memberikan gambaran, pembangkit listrik yang menggunakan batubara mungkin akan dipersulit atau mendapatkan bunga yang jauh lebih mahal dibandingkan pasar saat menerbitkan surat utang, begitu pula untuk kerja sama global bond. “Jadi perusahaan yang pro lingkungan mendapatakan banyak insentif dan yang polutan diberikan hukuman berupa kesulitan pendanaan,” ucap Bhima. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal