KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia menyumbang 75% hingga 80% kredit karbon dunia. Artinya secara tidak langsung Indonesia bertanggung jawab atas sebagian besar potensi dunia untuk menghasilkan penyeimbangan karbon. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial dalam pelaksanaan perdagangan kredit karbon. Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia, Masyita Crystallin mengatakan, ada dua instrumen harga karbon, yaitu instrumen perdagangan dan instrumen non-perdagangan. "Pada perdagangan, instrumen akan dibagi lagi menjadi dua jenis;
emission trading system (ETS), dan
offset emisi menggunakan mekanisme kredit," jelasnya dalam acara webinar Katadata SAFE 2021 yang diselenggarakan secara virtual, Senin (23/8).
Lebih lanjut dia menjelaskan, ETS memungkinkan suatu entitas untuk membeli hak untuk melepaskan lebih banyak karbon dioksida dari negara yang memiliki emisi karbon lebih rendah. Jenis instrumen ini menggunakan sistem cap and trade. Adapun offset emisi merupakan mekanisme untuk menjual kredit karbon kepada entitas yang membutuhkan. Sebagai salah satu paru-paru dunia, perdagangan karbon ini dapat memberikan kontribusi hingga lebih dari US$ 150 miliar bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu bergerak cepat dalam mengambil peran penting untuk memitigasi risiko pemanasan global dan memimpin pasar perdagangan karbon di skala internasional.
Baca Juga: Daripada revisi aturan PLTS Atap, pengamat sarankan perkuat industri solar cell Namun, untuk dapat menjual ke
mandatory market internasional dengan harga tertinggi, Indonesia membutuhkan sebuah pasar untuk mengumpulkan penawaran dan permintaan, serta kebijakan iklim yang dianggap adil dan efektif oleh masyarakat internasional. CEO ICDX, Lamon Rutten mengatakan sejak awal berdiri, ICDX berkomitmen untuk memajukan Indonesia khususnya pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. "Salah satu komitmen tersebut adalah melalui partisipasi ICDX sebagai bursa komoditi dalam mewujudkan pasar perdagangan karbon yang adil dan transparan. Kredit karbon sendiri secara internasional diakui sebagai komoditas," ujarnya. Di Indonesia, PT Barito Pacific Tbk telah menerapkan jual-beli emisi karbon antar-anak usahanya. Kendati demikian,
Chief Strategy Officer, Star Energy Geothermal, Agus Sandy Widyanto mengatakan saat ini Barito Pacific masih bergantung pada broker untuk
price discovery. "Sehingga dibutuhkan bursa karbon domestik untuk transparansi harga yang lebih baik," kata dia.
Jika seluruh pihak bekerja sama, Indonesia dapat menghasilkan
carbon offset pada tingkat yang melebihi komitmen NDC, dan dapat menjualnya ke seluruh dunia. Perdagangan karbon yang terorganisir melalui bursa akan memudahkan Indonesia dalam mencapai target yang telah ditetapkan dengan biaya yang minim, dan memaksimalkan peluangnya di pasar perdagangan karbon internasional. Chairperson, Yayasan IDH (The Sustainable Trade Initiative), Fitrian Ardiansyah menambahkan, pihaknya masih menunggu pilihan instrumen yang akan diambil pemerintah. "Terdapat opsi
hybrid yang merupakan gabungan skema perdagangan emisi karbon (
setting quota), dan pungutan karbon (
setting price). Keduanya menciptakan
demand. Saat ini negara tetangga yang sudah melakukan sistem ini adalah Colombia," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .