JAKARTA. Kementerian Perindustrian meminta China memberikan bantuan riil sebagai kompensasi penerapan perjanjian bebas area antara China dan ASEAN (China Asean Free Trade Agreement/ CAFTA) pada enam sektor industri yang injury. Enam sektor industri tersebut terdiri dari mainan anak, mesin dan elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), besi dan baja, alas kaki, dan furnitur. Sektor-sektor industri itu dinilai mengalami penurunan penjualan akibat penerapan CAFTA. Sebagai informasi, pada pertemuan yang digelar antara pemerintah China dengan Kementerian Perindustrian pada 28 Juli 2011, disepakati tentang rencana China untuk memberikan bantuan teknis pada enam sektor tersebut. Syaratnya, Kementerian Perindustrian harus menyerahkan proposal tentang bantuan teknis yang diminta. Kini, Kementerian Keuangan menagih kepada Kementerian Perindustrian segera merampungkan proposal agar Kementerian Keuangan bisa segera menyerahkannya pada pemerintah China dan dikaji lebih lanjut. Namun, menurut Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahayana, prosedur itu tidak akan memecahkan masalah. Apalagi permasalahan mendasar dari enam sektor itu tidak dapat diselesaikan lewat sekadar bantuan teknis. China, kata Agus, seharusnya memberikan bantuan seperti yang sudah diminta oleh Menteri Perindustrian pada pemaparannya pada 18 April 2011. Dalam rangka pengamanan pasar dalam negeri, ungkapnya, Kementerian Perindustrian telah meminta adanya penegakan hukum terkait Peraturan Menteri Perdagangan No 57 tahun 2010 yang mengatur penetapan importasi terbatas di lima pelabuhan, pengawasan penyelundupan impor, pengetatan produk yang harus sesuai standar nasional Indonesia (SNI), penggunaan label berbahasa Indonesia, mengoptimalkan antidumping, dan safeguard. Sebelumnya Kementerian Perdagangan juga sempat mengusulkan wacana threshold yaitu upaya memberikan alternatif pengurangan ekspor apabila terjadi defisit senilai US$1 miliar pada masing-masing sektor itu. "Tapi ditolak China. Yang dibutuhkan itu segala hal yang sudah kita sampaikan itu," jelas Agus. Agus mengakui, bantuan teknis bisa dialokasikan untuk meningkatkan daya saing industri, tapi tidak dapat menyelesaikan persoalan mendasar daya saing seperti kekurangan pasokan gas, sulitnya distribusi, perlunya insentif fiskal, ataupun kekurangan bahan baku. Menurut Agus, pemerintah China seharusnya membangun pabrik mesin dan peralatan di Indonesia untuk membantu revitalisasi mesin industri. Hal itulah yang justru dibutuhkan Indonesia untuk meningkatkan daya saing.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Indonesia minta China beri bantuan riil untuk kompensasi CAFTA
JAKARTA. Kementerian Perindustrian meminta China memberikan bantuan riil sebagai kompensasi penerapan perjanjian bebas area antara China dan ASEAN (China Asean Free Trade Agreement/ CAFTA) pada enam sektor industri yang injury. Enam sektor industri tersebut terdiri dari mainan anak, mesin dan elektronik, tekstil dan produk tekstil (TPT), besi dan baja, alas kaki, dan furnitur. Sektor-sektor industri itu dinilai mengalami penurunan penjualan akibat penerapan CAFTA. Sebagai informasi, pada pertemuan yang digelar antara pemerintah China dengan Kementerian Perindustrian pada 28 Juli 2011, disepakati tentang rencana China untuk memberikan bantuan teknis pada enam sektor tersebut. Syaratnya, Kementerian Perindustrian harus menyerahkan proposal tentang bantuan teknis yang diminta. Kini, Kementerian Keuangan menagih kepada Kementerian Perindustrian segera merampungkan proposal agar Kementerian Keuangan bisa segera menyerahkannya pada pemerintah China dan dikaji lebih lanjut. Namun, menurut Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahayana, prosedur itu tidak akan memecahkan masalah. Apalagi permasalahan mendasar dari enam sektor itu tidak dapat diselesaikan lewat sekadar bantuan teknis. China, kata Agus, seharusnya memberikan bantuan seperti yang sudah diminta oleh Menteri Perindustrian pada pemaparannya pada 18 April 2011. Dalam rangka pengamanan pasar dalam negeri, ungkapnya, Kementerian Perindustrian telah meminta adanya penegakan hukum terkait Peraturan Menteri Perdagangan No 57 tahun 2010 yang mengatur penetapan importasi terbatas di lima pelabuhan, pengawasan penyelundupan impor, pengetatan produk yang harus sesuai standar nasional Indonesia (SNI), penggunaan label berbahasa Indonesia, mengoptimalkan antidumping, dan safeguard. Sebelumnya Kementerian Perdagangan juga sempat mengusulkan wacana threshold yaitu upaya memberikan alternatif pengurangan ekspor apabila terjadi defisit senilai US$1 miliar pada masing-masing sektor itu. "Tapi ditolak China. Yang dibutuhkan itu segala hal yang sudah kita sampaikan itu," jelas Agus. Agus mengakui, bantuan teknis bisa dialokasikan untuk meningkatkan daya saing industri, tapi tidak dapat menyelesaikan persoalan mendasar daya saing seperti kekurangan pasokan gas, sulitnya distribusi, perlunya insentif fiskal, ataupun kekurangan bahan baku. Menurut Agus, pemerintah China seharusnya membangun pabrik mesin dan peralatan di Indonesia untuk membantu revitalisasi mesin industri. Hal itulah yang justru dibutuhkan Indonesia untuk meningkatkan daya saing.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News