KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan potensi inovasi berbasis alam melalui ekonomi biru dan bioekonomi dinilai mampu mengatasi tantangan global, terutama perubahan iklim. Karena itu, pemerintah Indonesia akan mendorong pengembangan keduanya, agar memberi manfaat besar bagi pertumbuhan ekonomi. Komitmen itu, ditegaskan pemerintah nasional, pada acara Indonesia Business dan Investment Forum on Nature Based Innovation pada Festival Lestari #5 di Sigi, Sulawesi Tengah. Indonesia saat ini tengah mendorong Penguatan Kerangka Regulasi atas Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik berorientasi BioProspeksi dan BioEkonomi, penguatan hilirisasi dan pengembangan produk berbasis alam yang melibatkan sektor usaha, penguatan riset dan inovasi nasional, penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya genetik dan penegakan hukum terhadap upaya biopiracy, dan sinergi lintas sektor dan para pelaku yang terlibat.
Pemerintah, saat ini sudah mendetailkan rencana penggunaan dua pendekatan tersebut, antara lain pengembangan sektor ekonomi baru berbasis inovasi seperti biosimilar dan vaksin, protein nabati, pengembangan industri hijau bernilai tambah tinggi seperti biokimia pangan, herbal dan nutrisi.
Baca Juga: Indonesia Luncurkan Peta Jalan Ekonomi Biru Hingga 2045 Hal tersebut, tertuang di dalam dokumen pengembangan RPJPN 2025 - 2045 sebagai salah satu strategi transformasi ekonomi baru dan diperkuat dengan masuknya Indeks Pengelolaan Keanekaragaman hayati (IPK) sebagai satu dari 45 Indikator yang disusun dalam draft RPJPN 2024-2045. Martha Theresia Juliana, Perencana Direktorat Lingkungan Hidup - Bappenas Republik Indonesia menjelaskan bahwa arah kebijakan RPJPN 2024-2045 adalah Pengembangan industri berbasis inovasi dan riset, terutama untuk mendorong ekonomi biru dan bioekonomi. “Peningkatan produk sumber daya hayati yang berkelanjutan melalui bioprospeksi di tingkat genetik dan spesies, hilirisasi peningkatan nilai tambah produk berbasis keanekaragaman hayati, Pengembangan dan pengelolaan digital sequence information atau sumber daya genetik serta pemanfaatan jasa wisata, jasa ekosistem dengan penerapan prinsip inklusif berkelanjutan yang menjunjung asas kesetaraan untuk kesejahteraan masyarakat, melindungi dan menghormati kearifan lokal dan kedaulatan negara,” jelas Martha, dalam Siaran Pers, Rabu (5/7) Sebagai catatan, merujuk laporan khusus tahun 2019 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menyebutkan, inovasi berbasis alam dapat berkontribusi hingga 37% dalam pengurangan emisi yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global menjadi 1,5 derajat Celcius. Laporan tersebut juga menekankan manfaat ganda dari pengembangan bioekonomi termasuk peningkatan ketahanan pangan, ketersediaan suplai air, dan kesehatan manusia. Sejalan dengan pernyataan Bappenas, Arma Janti dari Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu juga menyampaikan bahwa KLHK memulai pendekatan baru dari pengelolaan kawasan konservasi di mana fokus mulai beralih dari model pengelolaan konservasi yang cost center ke bioprospeksi yang mengolah potensi jasa lingkungan dan kekayaan genetik pada kawasan Cagar Biosfer Lore Lindu di Sulawesi Tengah untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terjebak di Level 5%, Begini Kata Bappenas “Saat ini kami bahkan telah mendampingi 76 desa di sekitar kawasan Cagar Biosfer Lore Lindu untuk mulai mengelola komoditas unggulan berbasis kehutanan dan potensi ekowisata. kedepannya bersama dengan Forum Komunikasi dan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer Lore Lindu dan mitra nasional kami akan melakukan identifikasi potensi bioprospeksi, mengembangkan inovasi produk dan jasa berbasis alam yang bernilai tinggi dengan branding Cagar Biosfer,” ujarnya. Sementara, berdasarkan laporan riset dari CSIS Center for Strategic and International Studies pada tahun 2022 tentang Ekonomi Hijau dalam Visi Indonesia 2045 diproyeksikan bahwa peluang PDB dari ekonomi hijau termasuk melalui investasi hijau dapat mencapai 20% APBN atau 612 Triliun rupiah. Karena itu, jika Indonesia gagal memanfaatkan peluang ekonomi ini, berpotensi kehilangan potensi pertumbuhan dan kemakmuran bernilai triliunan rupiah. Sejatinya, di Indonesia sendiri, bioekonomi maupun bioprospeksi sudah banyak dibicarakan di ranah penyusunan kebijakan dan perencanaan, diteliti di kalangan akademis. Mengutip KLHK (2023) bioprospeksi merupakan serangkaian kegiatan eksplorasi, koleksi, penelitian, dan pemanfaatan sumber daya genetik dan biologi yang dilakukan secara sistematis.
Baca Juga: Gobel: Jepang Bukan Hanya Berinvestasi Tetapi Juga Membangun SDM Tujuan dari bioprospeksi adalah untuk mendapatkan berbagai sumber baru senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alami lainnya yang memiliki nilai ilmiah atau komersial. sebagai upaya mengambil manfaat sosial-ekonomi sebesar-besarnya dari sumber-sumber biologis baru melalui koleksi, penelitian, dan pemanfaatan sumber daya genetik dan biologi secara sistematis, yang mengarah pada sumber-sumber baru senyawa kimia, informasi genetik, organisme dan produk alamiah lain untuk tujuan ilmiah atau komersial. Sedangkan Bioekonomi, merujuk pada European Commission, kemampuan mengambil manfaat ekonomi berdasarkan penggunaan sumber daya biologis dan terbarukan secara cerdas dari darat dan laut, sebagai masukan untuk produksi makanan dan pakan, industri dan energi. Ini juga mencakup penggunaan biowaste dan proses berbasis bio untuk industri berkelanjutan. Kajian yang dilakukan Universitas Nasional bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Lembaga KEHATI, menyebutkan bahwa bioekonomi memiliki cakupan luas, karena berhubungan dengan berbagai sektor yang dapat menjadi dasar pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Saribua Siahaan, Direktur Promosi Investasi Wilayah Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, dan Pasifik, Kementerian Investasi menegaskan bahwa selain mendorong Panduan Investasi Lestari, yang telah diluncurkan pada perhelatan G20 pada November 2022 lalu, Kementerian Investasi turut mendukung rangkaian pengembangan portofolio investasi berkelanjutan untuk daerah-daerah yang mempromosikan komoditas berkelanjutan, termasuk yang berbasis bioekonomi, melalui program Masterclass Investasi Lestari sejak tahun 2020 Pengembangan investasi lestari ini juga termaktub dalam 5 agenda nasional seperti dalam penyampaian pidato Presiden Joko Widodo, pada tahun 2022.
Baca Juga: Ini Rencana Jangka Menegah-Panjang Pemerintah Dalam Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi Agenda itu antara lain, hilirisasi dan industrialisasi SDA, optimalisasi sumber energi bersih dan ekonomi hijau, UMKM naik kelas, serta sektor perikanan, kelautan, dan kehutanan yang sarat dengan potensi bioekonomi. Agenda investasi di sektor ini tercatat membutuhkan sekitar 45,4 miliar USD. Gayung bersambut, berdasarkan Global Sustainable Fund Flows (Morningstar, 2022), aset dana berkelanjutan global tercatat sebanyak US$ 2,74 Triliun pada Desember 2021. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dana berkelanjutan ini meningkat sebesar 53 persen. Dana berkelanjutan global ini mencakup dana terbuka dan dana yang diperdagangkan di bursa, dengan tujuan investasi yang berkelanjutan dan/atau menggunakan kriteria LST dalam penentuan keputusan investasi mereka. “Saat ini berbagai portofolio investasi lestari prioritas sedang diakselerasi, Salah satu contoh konkrit adalah Proyek Prioritas Industri Hijau Pengelolaan Kelapa Terintegrasi di kabupaten Gorontalo yang sudah dalam status ready to offer dengan nilai investasi sebesar Rp. 643 Milyar,” ujar Saribua. Di tingkat yurisdiksi, tercatat beberapa kabupaten telah mulai beranjak memasukkan komoditas lestari dengan fokus pada hilirisasi produk berbasis alam dan pendekatan bioekonomi di dalam rancangan penanaman modalnya maupun perencanaan jangka panjangnya. Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Sigi misalnya, sudah memasukkan portofolio bioekonomi dan investasi hijau ke dalam RUPM perubahan 2017-2025.
Baca Juga: Penggunaan PLTS Atap Banyak Dilakukan Korporasi, Ini Tantangannya Bersama dengan 7 kabupaten lainnya yang tergabung dalam asosiasi pemerintah kabupaten Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), mereka mendorong portfolio inovasi berbasis alam dalam bentuk hilirisasi komoditas seperti ekstrak albumin dari ikan gabus, tepung mocaf, sagu dan kelor, minyak atsiri nilam, vanila, sereh wangi dan palmarosa, serat nanas dan bambu, fermentasi kelapa maupun produk setengah jadi kopi, kakao, tengkawang, rempah dan lain-lainnya yang dapat diserap oleh industri seperti industri kesehatan, pangan, kecantikan dan wellness bahkan industri manufaktur dan kimia. Secara total saat ini ada 21 portfolio komoditas dan inovasi berbasis alam dari 9 kabupaten LTKL yang bernilai pasar global sebesar US$ 223 Milyar atau 330 Triliun Rupiah. Bioekonomi diyakini menjadi gelombang ekonomi lanjutan sebagai bentuk peleburan pendekatan dan strategi politik, ekonomi, lingkungan, dan keanekaragaman hayati dengan fokus pada pembangunan dan industri yang meningkatkan nilai keanekaragaman hayati dan kompensasi jasa ekosistem untuk mencapai siklus kehidupan berkesinambungan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto