KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) memerluas kerja sama transaksi mata uang lokal atau Local Currency Transactions (LCT) akan mengurangi kebutuhan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun demikian, rupiah masih perlu waktu panjang untuk bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh dolar. Untuk diketahui, Bank Indonesia (BI), Bank of Korea (BOK), dan Kementerian Keuangan Korea baru saja menyepakati kerangka kerja sama LCT dalam mendorong penggunaan mata uang lokal rupiah-won untuk transaksi perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan pada Jumat (30/8). Langkah tersebut merupakan tindak lanjut memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani pada Mei 2023 dan kesepakatan kerangka operasionalnya pada Juni 2024. Kerangka LCT Indonesia-Korea Selatan akan diimplementasikan secara efektif mulai 30 September 2024.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menilai, langkah Bank Indonesia (BI) memperluas penggunaan transaksi mata uang lokal tersebut bagus untuk nilai tukar rupiah. Dengan transaksi nilai tukar secara langsung, maka selisih (spread) dalam transaksi tidak terlalu lebar. Berbagai manfaat implementasi kerangka LCT tersebut juga akan mendorong peningkatan transaksi perdagangan bilateral, mengurangi eksposur risiko nilai tukar, serta meningkatkan efisiensi transaksi antar kedua negara. Namun bagaimanapun, perubahan nilai tukar juga sangat dipengaruhi oleh intermarket yang saling terkoneksi. ‘’Kerja sama yang dilakukan akan mendorong kuotasi nilai tukar secara langsung (direct quotation) antara IDR terhadap KRW, serta relaksasi ketentuan yang diperlukan untuk mendorong pemanfaatan LCT,’’ ungkap Sutopo kepada Kontan.co.id, Senin (2/9).
Baca Juga: Rupiah Spot Terkoreksi Tipis 0,006% ke Rp 15.526 Per Dolar AS, Selasa (3/9) Adapun LCT telah digagas sejak tahun 2018 antara BI, Bank Sentral Malaysia dan beberapa Bank Sentral Asia lainnya. Kini LCT telah menjangkau banyak negara diantaranya Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok. Sejak awal implementasi pada 2018, total transaksi LCT pada semester I-2024 mencapai US$ 4,7 miliar atau diprakirakan meningkat 1,5 kali lipat dari total transaksi LCT tahun 2023 sebesar US$ 6,29 miliar. Setelah Korea Selatan, BI berencana akan menyasar kerja sama LCT dengan Uni Emirat Arab. Pada Juli lalu, BI dan Bank Sentral Uni Emirat Arab (CBUAE) menyepakati Memorandum of Understanding (MoU) guna membentuk kerangka kerja penguatan kerja sama bilateral di area sistem pembayaran. Kendati demikian, Sutopo mengatakan, meluasnya transaksi LCT tersebut juga bukan berarti nilai tukar sudah lepas dari bayang-bayang dolar Amerika. Hal itu mengingat hampir 60% perdagangan dunia saat ini masih dalam nilai tukar dolar AS. Posisi dolar sendiri dianggap masih sulit untuk digantikan walau prospeknya terancam melemah seiring dipangkasnya suku bunga acuan. Seperti diketahui, Federal Reserve (the Fed) diekspektasikan akan memangkas suku bunga acuan pada pertemuan 18 September mendatang. ‘’Penurunan suku bunga sudah pasti melemahkan dolar, namun sisi positifnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut saya, dolar tidak akan melemah secara signifikan,’’ kata Sutopo. Sutopo memandang bahwa dolar saat ini posisinya masih baik-baik saja di tengah banyaknya negara-negara menerapkan langkah dedolarisasi dan berencana memunculkan pengganti dolar AS. Mata uang negara paman sam tersebut untuk bisa tergeser mungkin masih membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
Baca Juga: Rupiah Jisdor Melemah 0,14% ke Rp 15.557 Per Dolar AS Pada Selasa (3/9) Seperti diketahui, BRICS dijadwalkan akan melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kazan, Rusia, pada 22-24 Oktober mendatang. Tercatat, sekitar 126 negara akan mengikuti konferensi tingkat menteri aliansi Brics tersebut diantaranya membahas kemungkinan mata uang baru. ‘’Mungkin BRICS belum akan menerbitkan mata uang baru. Hal itu karena membutuhkan kajian yang lama, mengingat masing-masing anggota punya kepentingan yang berbeda-beda,’’ ujar Sutopo. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat