KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menyerukan penggunaan skema blended finance sebagai mekanisme pembiayaan inovatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan agenda Sustanaible Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan tahun 2030. Hal itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa dalam pembukaan Forum G20 Development Ministerial Meeting, Kamis (8/9). Suharso menyampaikan, skala tantangan yang dihadapi saat ini membutuhkan kerja sama global yang lebih kuat dari sebelumnya. Forum G20 harus menyadari bahwa banyak negara berkembang yang tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk meningkatkan upaya mencapai Agenda 2030.
Baca Juga: Bappenas Dorong Skema Blended Finance untuk Kembangkan 10 Metropolitan Baru Perlambatan ekonomi yang ada dan dampak jangka panjang Covid-19 mengharuskan negara-negara untuk memobilisasi pembiayaan tambahan dari sumber-sumber inovatif. Kabar baiknya, hanya dengan mengalihkan 3,7% dari US$ 100 triliun total aset investor institusional yang tersedia di tingkat global, dapat menutup kebutuhan pembiayaan. Kerangka Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan G20 yang telah disepakati saat Presidensi Saudi Arabia tahun 2020, memberi momentum bagi Menteri Pembangunan G20, untuk meningkatkan komitmen politik mengenai isu pembiayaan pembangunan. "Dari sinilah, Presidensi G20 Indonesia mengusung isu blended finance sebagai mekanisme pembiayaan inovatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan SDGs," kata Suharso di Kabupaten Belitung, Kamis (8/9). Suharso menyebut, hal itu dilakukan dengan merumuskan prinsip-prinsip blended finance yang merefleksikan perspektif dan konteks penerima. Yaitu negara berkembang, negara-negara tertinggal/Least Developed Countries (LDCs), dan negara berkembang yang merupakan pulau kecil/Small Island Developing States (SIDS). Suharso mengatakan, keprihatinan bersama terhadap dampak jangka panjang pandemi Covid-19, mengharuskan dunia internasional untuk mengakhiri pandemi secepatnya. Bahkan setelah memasuki tahun kedua pandemi, beberapa negara masih kesulitan untuk menjalani pemulihan dan mengejar ketertinggalan pencapaian SDGs. "Situasi ini menandakan belum cukup kuatnya multilateralisme yang saat ini ada," ucap Suharso. Untuk itu, menjadi semakin penting bagi dunia internasional untuk menghidupkan kembali multilateralisme dalam mengatasi tantangan global dan mempercepat pencapaian SDGs.
Baca Juga: Kerek Pertumbuhan Ekonomi, Bappenas Siapkan Peta Jalan Ekonomi Biru Suharso menyatakan, negara-negara harus memaksimalkan dukungan untuk UMKM agar bisa mencapai produktivitas optimal, dapat bersaing secara global, serta tahan terhadap guncangan di masa depan. Selain itu, harus juga menyediakan jaring pengaman bagi orang-orang paling rentan untuk guncangan di masa kini dan masa depan, melalui penyediaan Perlindungan Sosial Adaptif.
Dunia internasional juga harus mentransformasi ekonomi menjadi lebih berkelanjutan, menuju ekonomi hijau dan ekonomi biru, guna mencapai pekerjaan dan penghidupan yang layak. Indonesia sebagai Ketua Presidensi G20 mendorong mobilisasi pembiayaan pembangunan yang lebih besar melalui mekanisme inovatif, dan menyalurkannya hingga ke daerah tertinggal dan terujung atau the last mile. "Kita harus menghidupkan kembali komitmen multilateralisme kita sebagai pedoman utama dalam mengatasi tantangan global dan mencapai Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan," pungkas Suharso. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi