KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Jerman, Indonesia menekankan pentingnya mengakhiri perang di Ukraina yang berdampak pada kondisi global, terutama bagi negara-negara berkembang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, perang di Ukraina berdampak pada rantai pasok pangan dunia. Dampak sangat besar tentu akan dirasakan oleh negara-negara berkembang. Dimana rakyat di negara berkembang terancam kelaparan dan jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem. Pada sesi kedua KTT G7 yang memfokuskan pada isu pangan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, Presiden Jokowi menyuarakan bahwa, rakyat di negara berkembang terancam kelaparan dan jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem. Berkaca pada data dari world food program, ada 323 juta orang di tahun 2022 menghadapi kerawanan pangan akut.
"Ini adalah permasalahan hak asasi manusia yang mendasar. Jadi pangan adalah permasalahan hak asasi manusia yang paling mendasar. Di mana perempuan dan keluarga miskin menjadi yang paling terkena dampaknya menghadapi kekurangan pangan," papar Retno dalam Konferensi Pers Virtual, Selasa (28/6).
Baca Juga: Menlu Retno: Presiden Jokowi Lanjutkan Agenda ke Ukraina Usai Hadiri KTT G7 Oleh karenanya Indonesia menegaskan, perlunya tindakan yang cepat untuk mencari solusi konkrit akan hal tersebut. Diantaranya, peningkatan produksi pangan, serta rantai pasok pangan dan pupuk global juga harus kembali normal. "Bapak Presiden juga menyampaikan pentingnya dukungan negara-negara G20 untuk mereintegrasi ekspor gandum dari Ukraina, serta ekspor komoditi pangan dan pupuk Rusia ke dalam rantai pasok global," imbuhnya. Hal tersebut dilakukan melalui, pertama dukungan dari negara-negara G7 dalam memfasilitasi ekspor gandum Ukraina agar dapat segera berjalan. Kedua pentingnya mengkomunikasikan kepada dunia bahwa komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi. Indonesia menyampaikan, komunikasi yang intensif diperlukan agar tidak terjadi keraguan berkepanjangan dari publik internasional. Selain itu, komunikasi yang intensif juga perlu dilakukan kepada pihak-pihak terkait seperti bank, asuransi, perkapalan dan lain-lain. Dampak perang terhadap rantai pasok pangan dan pupuk sangatlah nyata. Terutama mengenai pupuk, pasalnya apabila dunia gagal menanganinya, maka potensi krisis beras yang menyangkut 2 miliar manusia, terutama di negara berkembang dapat terjadi. Oleh karenanya, pertemuan G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi krisis pangan ini mulai sekarang. Tak hanya menyuarakan soal dampak krisis pangan dari adanya perang di forum G7, Indonesia juga membawa isu tersebut pada pertemuan-pertemuan bilateral di sela-sela KTT G7. "Di sini sangat jelas presiden membawa suara negara berkembang yang memang sangat berdampak dari terjadinya perang di Ukraina. Kekhawatiran terhadap rantai pasok pangan memang sangat mengemuka di dalam diskusi-diskusi bilateral," jelas Retno.
Baca Juga: Jokowi Blak-blakan Indonesia Butuh Investasi US$ 30 Miliar untuk Transaksi Energi Di dalam pertemuan-pertemuan bilateral tersebut, Retno menyampaikan, Presiden Jokowi kembali menekankan negara G7 dan G20 tak memiliki waktu yang panjang untuk menyelesaikan gangguan rantai pasok pangan. Dimana gangguan rantai pasok pangan akibat adanya perang kini menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga pangan dan pupuk. "Dan jika dunia tidak bersatu untuk menyelesaikan masalah tersebut maka yang paling akan merasakan dampaknya adalah ratusan juta atau bahkan miliaran penduduk negara berkembang," tegasnya. Sebagai informasi, Jokowi melakukan sekitar 9 pertemuan bilateral yaitu dengan PM India, Presiden Prancis, PM Kanada, Kanselir Jerman, PM Inggris, PM Jepang, Presiden Komisi Eropa, Presiden Dewan Eropa dan Managing Director IMF. Pertemuan juga membahas mengenai penguatan kerjasama bilateral. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .