KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah untuk memperpanjang kontrak izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) di Indonesia hingga 2061 dinilai tidak terlalu menguntungkan bagi Indonesia lantaran posisi Indonesia dianggap lemah di Freeport. Sejatinya, kontrak Freeport Indonesia akan berakhir pada 2041 mendatang. Untuk mempanjang kontrak ini, Pemerintah harus melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Revisi PP tersebut berkaitan dengan penghapusan tenggat waktu pengajuan perpanjangan kontrak. Sebelumnya, perpanjangan IUPK baru bisa dilakukan paling cepat 5 tahun atau paling lambat 1 tahun sebelum masa berlaku izin usaha berakhir. Relaksasi tenggat waktu pengajuan perpanjangan kontrak juga telah tertuang dalam Pasal 196 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020.
Baca Juga: Kontrak Diperpanjang, Indonesia Dapat Gratis 10% Tambahan Saham Freeport Keputusan pemerintah memperpanjang kontrak Freeport perlu dipertimbangkan kembali. Pasalnya, meskipun adanya penambahan saham 10% bagi Pemerintah Indonesia di PTFI, pemerintah tidak memiliki posisi yang kuat di Freeport lantaran tidak menjadi pengendali saham alias pemegang saham kendali masih dipegang oleh Freeport-McMoran. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifi Tasrif mengatakan, PTFI akan mendapatkan perpanjangan kontrak selama 20 tahun ke depan hingga 2061. Perpanjangan kontrak tersebut mempertimbangkan beberapa faktor, di antaranya Freeport berjanji akan membangun smelter baru dan penambahan saham 10% Pemerintah Indonesia di PTFI. Selain itu, adanya potensi mineral yang dapat ditambang dan mempertimbangkan manfaat bagi pemerintah Indonesia. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, sebenarnya jauh lebih penting dan berharga jika Indonesia mampu menjadi pengendali dan menjadi pihak yang dapat mengambil keputusan untuk berdaulat atas korporasi ini dan pengelolaan tambang di Papua, dairpada memiliki saham mayoritas tetapi tidak bisa menjaid pengendali. "Jadi Freeport ini anak BUMN, namun rasanya bukan rasa BUMN dan bukan rasa Indonesia karena masih full rasa asing, sehingga pejabat kita masih betapa sibuk memfasilitasi Freeport dengan perpanjangan dan bahkan harus mengubah PP," kata Bisman kepada KONTAN, Rabu (3/4). Senada, pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi memandang tidak ada urgensinya untuk memperpanjang kontrak Freeport hingga 2061. Sebab, semestinya kontrak dihabiskan terlebih dahulu kemudian baru ada pembicaraan mengenai perpanjangan kontrak. Menurut Fahmy, pemberian kompensasi tambahan 10% saham meskipun pemerintah tidak mengeluarkan anggaran untuk itu, tetap tidak begitu menguntungkan bagi Indonesia. "Misalkan penambahan 10% itu gratis tetapi kalau pemegang saham kendalinya tetap pada McMoran, biarpun kita memiliki total saham 71% pun tidak ada pengaruhnya dalam pengambilan keputusan yang strategis," kata Fahmy kepada KONTAN, Rabu (3/4). Apalagi, lanjutnya, Freeport meminta agar relaksasi ekspor konsentrat untuk tidak lagi diolah di dalam negeri dan tetap di luar negeri di mana ini adalah keputusan sepihak yang akan menguntungkan McMoran daripada MIND ID karena nilai tambahnya nanti McMoran yang akan menikmati. Padahal, jika di smelterkan di Indonesia, bisa menghasilkan tembaga, perak, dan emas.
Baca Juga: Menakar Untung Rugi Penambahan 10% Saham dan Perpanjangan Kontrak Freeport Bentuk kompensasi dengan tambahan saham 10% dinilai tidak seimbang bagi Indonesia sebab hanya akan mendapatkan manfaat dividen saja, untuk penentuan arah kebijakan Freeport masih akan dikendalikan oleh pemegang saham kendali yaitu McMoran. Ya memang ada manfaat berupa peningkatan dividen bagi pemerintah, namun Fahmy menyoroti bahwa pengambilan keputusan yang strategis Freeport justru yang akan lebih menguntungkan bagi bangsa Indonesia, Papua, MIND ID.
Selain itu, Fahmy menekankan bahwa pembahasan perpanjangan kontrak Freepot ini terlalu cepat dibahas. Pasalnya, menurut aturan perpanjangan kontrak bisa mulai dibahas paling cepat 5 tahun sebelum kontraknya berakir. Adapun, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo mengatakan, saat ini baru ada wacana penambahan 10% saham lagi dan belum diduskusikan detail transaksinya bagaimana. "Belum ada pembicaraan ke arah sana," ujar Dilo kepada KONTAN, Rabu (3/4). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi