KONTAN.CO.ID - JAKARTA. JLL, perusahaan real estate komersial dan manajemen investasi global, menyatakan bahwa Indonesia kini merasakan manfaat besar dari perusahaan yang mulai mendiversifikasi manufaktur mereka, melengkapi basis manufaktur yang sudah ada di China. Dalam satu dekade ke depan, akan terjadi percepatan pergeseran dalam rantai pasokan, di mana diversifikasi manufaktur dan produksi akan fokus pada beberapa lokasi di Asia Tenggara dan India. Namun, perusahaan harus fleksibel dalam memilih lokasi dan opsi pembiayaan untuk menghadapi volatilitas rantai pasokan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan telah mulai mempertimbangkan relokasi manufaktur mereka keluar dari China. Di Asia Pasifik, tren
near-shoring, re-shoring, dan
friend-shoring telah menghasilkan strategi China+1, di mana perusahaan menambahkan basis manufaktur tambahan di luar China untuk mengurangi risiko gangguan rantai pasokan dengan mengurangi ketergantungan pada satu negara.
Baca Juga: Investasi Real Estat Komersial di Asia Pasifik Naik 13% pada Kuartal I-2024 Menurut analisis JLL, dampak utama dirasakan di negara tujuan, terutama di Asia Tenggara dan India. Akibatnya, banyak pemerintah di kawasan tersebut menunjukkan dukungan mereka terhadap peluang ini dengan menerapkan lebih banyak kebijakan untuk mendukung industri manufaktur lokal, yang memprioritaskan ketersediaan lahan dan akses ke sumber modal. “Diversifikasi dalam rantai pasok adalah langkah alami bagi perusahaan manufaktur di siklus ekonomi yang lebih besar di wilayah ini. Kami melihat bahwa kawasan Asia Tenggara dan India dapat saling melengkapi dengan kekuatan produksi yang sudah ada di China. Namun, agar perusahaan dapat merespons pergeseran rantai pasokan ini dengan cepat, mereka perlu mengadopsi pola pikir yang fleksibel terhadap pemilihan lahan dan opsi pendanaan,” kata Michael Ignatiadis, Kepala Strategi Manufaktur, Asia Pasifik, JLL, dalam rilis pada Selasa (4/6). Dia mengatakan, dengan fondasi ekonomi yang kuat, Indonesia kini muncul sebagai hub untuk manufaktur besar. Populasi yang besar, tenaga kerja yang banyak, biaya yang menarik, serta berbagai insentif yang ditawarkan menjadikan Indonesia tujuan investasi manufaktur yang menarik. Pada 2023, Indonesia mencatat peningkatan penanaman modal asing langsung (FDI) dalam bidang manufaktur, dengan kenaikan sebesar US$4 miliar sehingga mencapai total US$28,7 miliar. "Indonesia juga mengalami pertumbuhan signifikan di sektor-sektor utama seperti elektronik dan peralatan, bahan kimia dan farmasi, serta kendaraan bermotor dan transportasi lainnya," jelasnya. Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung dan menarik investasi di sektor manufaktur. Beberapa inisiatif utama termasuk insentif untuk kendaraan bermotor tenaga baterai, insentif pajak investasi melalui Kawasan Ekonomi Khusus, dan strategi “Making Indonesia 4.0” yang bertujuan mengintegrasikan teknologi manufaktur mutakhir. Selain itu, Indonesia mengizinkan 100% kepemilikan asing di sektor-sektor utama seperti logistik dan e-commerce. Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai net-zero emisi karbon pada 2050 melalui Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050. Kebijakan-kebijakan ini menciptakan lingkungan yang mendukung investasi manufaktur, menempatkan Indonesia sebagai destinasi kompetitif bagi produsen dunia.
Baca Juga: JLL Indonesia Berkomitmen pada Keberlanjutan Lingkungan, Diawali di Lingkungan Kerja Farazia Basarah, Country Head dan Head of Logistics and Industrial, JLL Indonesia, mengatakan, Indonesia menawarkan ekosistem manufaktur yang kuat dengan inisiatif pemerintah, insentif, dan tenaga kerja yang besar. Lokasi strategis dan berlimpahnya sumber daya alam menjadikan Indonesia destinasi utama bagi produsen yang ingin mendiversifikasi dan memperkuat rantai pasok mereka. Meningkatnya biaya di China dalam beberapa dekade terakhir telah mempercepat peralihan menuju diversifikasi ini. Permintaan yang lebih besar terhadap lahan industri, ditambah dengan upah dan biaya bahan baku yang meningkat, juga membuat harga tanah lebih mahal di China. "Ini membuat Indonesia menjadi alternatif yang lebih cost-effective. Selain itu, faktor-faktor seperti tenaga kerja ahli, infrastruktur, regulasi lingkungan, kedekatan dengan pemasok dan pelanggan, serta stabilitas politik sangat berkontribusi pada kesuksesan dan keberlanjutan pabrik dalam jangka panjang. JLL merekomendasikan perusahaan untuk cermat dalam mengevaluasi faktor-faktor non-biaya atau kualitatif ini karena sangat penting untuk membuat keputusan yang tepat dan membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan di masa depan," tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .