JAKARTA. PT Indosmelt menyatakan akan tetap melanjutkan proyek pembangunan pabrik pemurnian (
smelter) tembaga batangan senilai US$ 1 miliar. Bahkan, perusahaan tersebut mengklaim sudah memiliki kesepakatan dengan Kalla Group untuk turut serta dalam pengelolaan pabrik yang dibangun di Maros, Sulawesi Selatan. Sebelumnya, pembangunan smelter milik Indosmelt terancam gagal lantaran PT Freeport Indonesia sebagai pemasok konsentrat tembaga malah membangun smelter sendiri. Meski begitu, Presiden Direktur Freeport Rozik B. Soetjipto pernah menyebut, produksi konsentrat Freeport pada 2021 sampai 2041 akan meningkat terus seiring dengan beroperasinya seluruh tambang bawah tanah. Untuk itu, diperlukan smelter-smelter baru, termasuk milik Indosmelt, guna menampung konsentrat yang diproduksi Freeport. Maklum, mulai 12 Januari 2017, produksi konsentrat tembaga Freeport harus diolah di dalam negeri.
Mendengar hal itu, Natsir Mansur, Direktur Utama Indosmelt, menyatakan, pihaknya memang akan tetap berkomitmen untuk membangun smelter. Saat ini pihaknya telah melakukan pembicaraan dengan manajemen Kalla Group untuk turut berinvestasi di Indosmelt. "Namun, komposisi kepemilikan sahamnya belum ditetapkan. Kami akan tetap mayoritas," kata Natsir saat ditemui di kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, akhir pekan lalu. Seperti kita ketahui, Indosmelt berencana membangun smelter dengan kapasitas bahan baku 500.000 ton konsentrat per tahun, dan kapasitas produksi copper cathode sebesar 120.000 ton per tahun. Untuk membangun smelter, Indosmelt akan menyiapkan dana US$ 1 miliar. Natsir menyatakan, meskipun Indosmelt sudah memastikan bahwa Kalla Group bakal masuk, hingga sekarang belum ada kesepakatan resmi terkait jumlah saham dari aksi akuisisi Kalla Group ke saham Indosmelt. "Mungkin paling besar sekitar 30% saham, yang akan kami lepas ke Kalla Group," jelas dia. Bakal masuknya Kalla Group, tentu, akan menambah keyakinan Indosmelt dalam merealisasikan proyek smelter. Maklum, selain kebutuhan investasi yang tinggi, smelter tersebut juga membutuhkan pasokan listrik sekitar 100 megawatt (MW), sedangkan Kalla Group merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam penyediaan listrik. Namun, klaim Indosmelt tampaknya masih sepihak. Andi Asmir, Corporate Communications Kalla Group, mengatakan, dirinya belum mendapat informasi secara detail mengenai kerjasama Kalla Group dengan PT Indosmelt. "Mungkin anak usaha kami sudah ada yang melakukan pembicaraan dengan Indosmelt, tapi saya harus konfirmasi dulu mengenai akan masuknya Kalla Group di perusahaan tersebut," jelas dia melalui pesan singkat. Bosowa juga diajak Selain Kalla Group, lanjut Natsir, pihaknya juga tengah menjalin komunikasi dengan Bosowa Group untuk turut serta dalam kepemilikan saham di Indosmelt. Sebab, bila smelter sudah beroperasi, perusahaan berencana melepaskan saham ke publik lewat Bursa Efek Indonesia (BEI).
Natsir menambahkan, sekarang pihaknya masih melakukan kajian ulang feasibility study (FS) pembangunan smelter dengan perusahaan asal China. "Awalnya konsultan kami Auto Tech dari Australia, sekarang kami bekerjasama dengan konsultan asal China untuk melakukan FS ulang agar tingginya investasi bisa ditekan," ujar dia. Rencananya, kajian FS yang digelar sejak Juli silam diharapkan bisa dirampung dalam waktu dekat. Dengan begitu, tahapan pemasangan tiang pancang (
grounbreaking) yang telah lama tertunda bisa digelar pada akhir Desember 2014 nanti. Selain itu, sampai saat ini Indosmelt juga masih menggelar tahapan pengadaan lahan untuk areal smelter dengan total kebutuhan 100 hektare (ha). Natsir menyatakan, sampai sekarang proses pembebasan lahannya telah sekitar 60% dengan total biaya mencapai Rp 300 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia