Industri Animasi Lokal Bak Anak Tiri



TIDAK seperti komik di mana karya gambar dituangkan dalam kertas atau buku, industri animasi menuangkan karya gambar bergerak dalam sebuah tayangan. Jadi bisa dikatakan, industri animasi setingkat di atas komik karena untuk membuat gambar bergerak dibutuhkan peralatan khusus.Menurut Gotot Prakosa, Ketua Asosiasi Animasi Indonesia (Anima) sekaligus presiden Asosiasi Animasi Internasional (ASIFA) Indonesia Chapter, cikal bakal animasi Indonesia sudah ada di relief-relief candi. Dilanjutkan pada wayang yang menggunakan teknik animasi dengan bayangan.Mungkin tak banyak yang tahu bahwa wayang lah yang mengilhami Walt Disney, tokoh animasi Amerika, membuat film animasi pertamanya dengan teknik tersebut. "Itu membuktikan Indonesia sebenarnya kuat dari visi animasi. Sayang tidak terolah sedemikian rupa," ujar Gotot.Dari sisi bisnis, industri animasi sangat menjanjikan. Setidaknya ada 18 bidang yang membutuhkan animasi. Sebut saja industri TV grafik (motion grafik), misalnya menampilkan logo televisi secara animasi. Kemudian scientific visualization atau animasi di bidang ilmu pengetahuan.Kegiatan simulasi juga membutuhkan animasi. Misal simulasi produk baru seperti mobil. Animasi juga dibutuhkan untuk flight simulation bagi pilot, latihan perang, rekonstruksi luar angkasa (outer space), arsitektur dan desain interior, arkeologi, film seri, periklanan, pendidikan, games, seni, dan industri multimedia seperti desain web.Dari sekian banyak bidang yang bisa menjadi pasar industri animasi, saat ini pemain lokal kebanyakan baru masuk ke games, pendidikan dan iklan. Sementara industri film, termasuk film seri masih didominasi Jepang dan Amerika. Padahal Film seri animasi sangat diminati anak-anak, termasuk anak-anak di Indonesia. "Ada lebih dari 60 juta anak usia dibawah 14 tahun yang merupakan potensi pasar yang besar," ujar Denny A Djoenaid, Chairman Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki).

Asing lebih murah

Kecilnya frekuensi tayangan animasi lokal di televisi nasional ini disebabkan beberapa hal.Pertama, harga piranti lunak pembuatan film animasi mahal, sehingga pelaku industri terpentok pada pendanaan. "Padahal di Korea, Pemerintahnya sampai membangun satu bank khusus untuk mengembangkan industri game lokal," kata Denny. Alhasil, kini games Korea menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Kini Malaysia dan China sedang menirunya.Kedua, masih banyak ijin yang harus dipenuhi untuk membuat perusahaan animasi dan biayanya cukup mahal. Sudah begitu, ijin tersebut tidak bisa digunakan untuk mendapat pinjaman bank.Ketiga, animasi lokal kalah bersaing dari animasi impor, baik dari segi harga maupun kualitasnya. "Harga film animasi impor hanya Rp 5 juta sekali tayang," ujar Denny. Sementara untuk animasi lokal, televisi hanya mau keluar duit maksimal Rp 20 juta sekali tayang. Padahal, bagi pemain lokal harga segitu terlalu murah dan tak sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan. Pihak televisi juga sering mengeluhkan buruknya kualitas film animasi lokal karena dasar ceritanya belum kuat. "Salah satu pekerjaan rumah terbesar adalah tidak adanya sekolah untuk script writer film animasi," ujar Denny.Lantaran kalah bersaing di film, banyak pemain animasi bertahan hidup dengan mengerjakan animasi iklan, ataupun pesanan. Mereka juga memasarkan produknya secara indie. Susilo Dwi dari Plan B Studios, Jogyakarta mengatakan, ia lebih suka mengerjakan pesanan dari Malaysia gara-gara serapan dari TV nasional macet. Celakanya sofware standar animasi mahal. Padahal software tersebut sangat ini menentukan kualitas animasi yang dihasilkan. "Bank tidak mau membantu," ujar Susilo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: